Liputan6.com, Jakarta - Surya mencurahkan isi hatinya sebagai kaum minoritas yang merasa terpinggirkan masyarakat kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dia sedih, karena sebagai seorang tuna rungu kurang mendapatkan informasi.
"Masyarakat umum tidak tahu apa itu disabilitas, mereka tidak tahu bagaimana kita, sehingga bagaimana mereka berkomunikasi dengan kita sebagai kaum tuna rungu," cerita Surya yang diungkapkan oleh penerjemah bahasa isyarat di Kantor Komnas HAM Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, Rabu 1 Juni 2016.
Dia mencontohkan, seringkali orang-orang berteriak kepadanya. Surya menuturkan, mereka tidak perlu melakukan itu, karena memang dia tidak mendengar.
Tak hanya itu, lanjut dia, ketika sedang salat Jumat saat sedang mendengarkan khotbah.
"(Saat khotbah salat Jumat) saya meminta tolong ke orang yang ada di sebelah saya untuk menjelaskan apa yang dibicarakan, tetapi dia malah bilang, ssstt...ssttt," papar Surya saat menghadiri peluncuran buku dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang berjudul Upaya Negara Menjamin Hak-hak Kelompok Minoritas di Indonesia: Sebuah Laporan Awal.
"Kemudian pernah juga saat saya meminta tolong kepada teman saya untuk mengetikkan di handphone (HP) apa yang dibicarakan saat khotbah, tetapi ada orang lagi yang malah bilang jangan main HP," ia menambahkan.
Baca Juga
Advertisement
Surya mengaku sedih dan kecewa karena kalau begitu, bagaimana caranya dia dan teman-teman tuna rungu lainnya bisa mendapatkan informasi di luar sana.
"Tidak ada pemberi informasi bagi mereka (ibu-ibu dan orangtua) bagaimana mengurus anak dengan tuna rungu, bagaimana berkomunikasi dengan anak mereka apakah harus dengan averbal atau bahasa isyarat atau bagaimana. Itu seharusnya ada," pungkas Surya.
Sementara itu, Hendro yang juga diterjemahkan oleh penerjemah bahasa isyarat mengaku sangat senang bisa bertemu dengan Komnas HAM sehingga bisa tahu apa saja program-programnya terutama untuk melindungi kaum disabilitas. Hendro pun menceritakan pengalamannya sebagai kaum tuna rungu.
"Saya mau cerita pengalaman saya. Saya ini adalah seorang gay, saat itu saya bingung, saya tidak lapor polisi (karena gay). Sampai pada akhirnya saya pun kumpul dengan teman-teman LGBT," ungkap Hendro.
Usai berkumpul dengan kelompok LGBT, Hendro pun mengaku mulai membatasi dirinya karena banyak orang yang berpikir kalau dirinya menularkan penyakit.
"Saya membatasi diri, karena tidak ada juga informasi penggunaan kondom seperti apa, bagaimana caranya, dan saya baru tau setelah ada kelompok HIV/AIDS," cerita Hendro.
Lalu, lanjut dia, ketika di sekolah atau kampus, saat kaum LGBT membuat kelompok, mereka langsung diusir tanpa diajak komunikasi atau diskusi terlebih dahulu.
"Harapan saya, saya minta tolong kepada semua orang LBGT atau tuli untuk ikut test HIV/AIDS supaya ikut selamat dan bisa selamat dari penyakit itu," tutur Hendro.