Liputan6.com, Baghdad - Penawaran dibuka di angka US$ 9 ribu atau Rp 122,6 juta. Itu bukan harga barang, melainkan nilai finansial untuk seorang gadis Yazidi yang dijual kelompok teroris ISIS.
Gadis itu cantik, pekerja keras, dan masih perawan. Ia juga baru berusia 11 tahun.
Itu adalah keterangan yang tercantum dalam iklan yang disebarkan ISIS secara viral. Satu, dari sekian banyak iklan yang disimpan Abdullah Shrem di telepon selulernya.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Shrem, sejumlah iklan lainnya malah menampilkan petunjuk vital berupa foto dan lokasi.
Shrem memang berniat 'membeli' gadis-gadis itu, tapi bukan karena ingin menjadikan mereka budak seks. Sebaliknya, ia ingin membebaskan mereka.
Shrem punya cerita kehilangan di mana lebih dari 50 anggota keluarga Shrem diculik teroris ISIS dari kediaman mereka di Provinsi Sinjar, Irak -- ribuan warga Yazidi telah diculik di daerah ini pada 2014 lalu.
Dijual sebagai Budak Seks
Putus asa dan marah adalah gambaran perasaan yang berkecamuk di dalam diri pengusaha itu. Ia melihat dunia hanya menonton apa yang terjadi terhadap warga Yazidi tanpa melakukan sesuatu untuk menolong.
Ia dibantu dengan beberapa orang mulai merencanakan upaya penyelamatan terhadap para gadis yang diculik ISIS.
Tak main-main dengan niatnya, Shrem merekrut para penyelundup rokok untuk menyelundupkan barang-barang terlarang masuk dan keluar di wilayah ISIS. Ini dilakukan demi melancarkan upaya penyelamatannya.
"Tak ada pemerintah atau ahli yang melatih kami. Kami belajar sambil terus melakukannya. Lebih dari satu setengah tahun, kami mendapat cukup pengalaman," ujar Shrem seperti dikutip CNN, Jumat (3/6/2016).
Luar biasa, kelompok yang dikomandoi Shrem sejauh ini berhasil menyelamatkan 240 perempuan Yazidi. Sebuah usaha yang tidak mudah apalagi murah. Ia hampir menyerah, setelah tabungannya terkuras habis untuk membayar biaya penyelundupan itu.
Tantangan terbesar datang bagi penyelundup yang melacak keberadaan gadis-gadis Yazidi itu. Nyawa menjadi taruhan mereka, jika tertangkap mereka akan dieksekusi.
Shrem mengaku, segala risiko yang ditemuinya terbayar lunas ketika mereka berhasil melakukan operasi penyelamatan. "Setiap kali menyelamatkan satu orang, saya mendapat kekuatan dan keyakinan untuk melanjutkan ini sampai saya mampu menyelamatkan mereka semua," tuturnya.
Pada sejumlah kasus, kelompok Shrem bergerak mengikuti petunjuk dari iklan yang disebarkan ISIS. Namun dalam kasus lainnya, para sandera yang berusaha untuk menghubungi mereka -- merinci informasi terkait lokasi mereka.
Setelah berhasil tersambung dengan kelompok Shrem, gadis-gadis yang diculik itu diberi tahu kapan dan ke mana mereka harus pergi untuk menemui penyelundup yang telah bersiap dengan mobil untuk membebaskan mereka.
Tak ada yang pasti, begitu juga dengan proses penyelamatan gadis-gadis itu. Ada yang berlangsung dalam sehari, tapi tak jarang butuh waktu berminggu-minggu untuk keluar dari wilayah ISIS, berpindah-pindah dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya bahkan terkadang harus menunggu di rumah aman.
Perempuan Cantik Jadi Incaran
Anak-anak Dijadikan Pembuat Bom
Seorang perempuan dengan nama samaran, Dileen adalah satu dari sekian banyak yang berhasil diselamatkan Shrem dan timnya.
Dileen bercerita, ia terpisah dengan suaminya ketika ISIS menyerang Provinsi Sinjar. Terakhir kali, ia melihat suaminya dipaksa berbaris dengan laki-laki lainnya dan dengan tangan terangkat mereka dibawa pergi entah ke mana.
Bersama dengan anak-anaknya, Dileen dibawa ke Mosul. "Mereka memisahkan gadis-gadis cantik dan membuat kami melepas tutup kepala kami untuk melihat mana yang paling cantik," jelas Dileen.
Para perempuan yang diculik itu tak menetap di satu tempat. Mereka pindah dari satu kota ke kota lainnya mulai dari Mosul, Tal Afar, Raqqa hingga akhirnya Tishrin. Nasib Dileen pada saat itu berakhir di tangan salah seorang anggota ISIS, ia diperkosa berkali-kali.
"Mereka memaksa saya, mengancam anak-anak saya," ungkap Dileen yang terperangkap selama lima bulan.
ISIS disebut mengklaim kitab suci membenarkan untuk menculik perempuan dan anak perempuan non-Muslim bahkan memerkosa mereka. Pernyataan tak mendasar yang telah dibantah keras oleh para ulama.
Sementara Dileen dipaksa menjadi budak seks, sang putri yang baru berusia 7 tahun, Aisha dipaksa bekerja hingga larut. Gadis kecil itu ditempatkan di sebuah ruang bawah tanah untuk merakit bom.
"Saya dipekerjakan untuk membuat bom. Ada seorang gadis dan ibunya, mereka mengancam akan membunuh gadis itu jika saya tidak mau bekerja," tutur Aisha.
"Mereka memakaikan kami pakaian hitam dan di sana terdapat bahan berwarna kuning dan gula juga tepung. Kami menimbang bahan-bahan itu lalu memanaskannya dan mengemas artileri," imbuhnya.
Aisha menambahkan, seorang anggota kelompok teroris itu nantinya akan menambahkan kabel detonator.
Masa Pelarian yang Tak Terlupakan
Dileen takut sang putri akan diledakkan atau jika penyanderaan itu masih berlanjut hingga ulang tahun Aisha maka bocah itu akan dijual untuk dijadikan budak seks. Ketika ISIS harus menghadapi operasi militer, maka Dileen dan putrinya memiliki kesempatan untuk melarikan diri.
Ia menelepon Shrem untuk meminta bantuan. "Kami mendapatkan telepon dengan bantuan seorang perempuan lain, kami pun terhubung dengan Shrem," jelas Dileen.
Nomor telepon Shrem sendiri diingat oleh seorang perempuan sebelum akhirnya tersebar luas di antara kalangan perempuan Yazidi. "Saya memohon padanya untuk bergegas dan menemukan kami sebelum Aisha berumur 8 tahun, karena mereka akan membawanya," kata perempuan itu menceritakan kisah pilunya.
Kini, setelah satu tahun berlalu, Dileen masih belum bisa melupakan misi penyelamatan yang dilakukan Shrem. Bersama sang putri, ia tinggal di kamp pengungsi di Kurdistan, Irak.
Advertisement
Di Mana Kepedulian Dunia?
Di Mana Kepedulian Dunia?
Tak perlu jauh-jauh mencontohkan korban penculikan ISIS, karena adik Shrem sendiri adalah salah satunya. Namun sang adik berhasil menghubunginya.
"Selama 8 bulan, saya tidak mendengar kabar dia. Tiba-tiba dia menghubungi saya dari Anbar setelah seorang istri anggota ISIS memberinya telepon dan mengatakan mungkin itu bisa membantunya melarikan diri," cerita Shrem tentang adiknya.
Shrem berhasil menyelamatkan sang adik dan putra bungsunya, Saif. Namun ia gagal melacak keberadaan dua keponakannya yang lain -- mereka dikirim ke kamp-kamp pelatihan ISIS. Sementara seorang ponakan perempuannya dibawa pergi untuk dijual.
Shrem takut, tak ada waktu untuk menyelamatkan ribuan warga Yazidi dari radikalisasi yang dilakukan ISIS. Karena itu, ia menyerukan dunia internasional untuk mengambil tindakan.
"Jika saja yang terjadi itu menimpa 50 bukan 50.000 warga Eropa di mana mereka diperkosa setiap hari oleh ISIS, akankah mereka diam? Tentu saja tidak. Akan ada operasi penyelamatan... semua upaya akan dilakukan untuk menyelamatkan mereka," ujarnya lirih.
"Tapi ini ada 5.000 Yazidi yang diperkosa, anak-anak dilatih dan berubah menjadi bom berjalan, tidak ada yang melakukan apa-apa. Kami ditinggalkan," kata Shrem.
ISIS Mencuci Otak Mereka
Tak lama setelah berhasil menyelamatkan Saif, ia menceritakan bagaimana bocah itu telah menjadi korban cuci otak ISIS.
"Ketika bebas, ia meliar. Kita tidak bisa 'benar-benar' bicara dengan dia. Saif masih menerapkan mentalitas ISIS -- setiap orang adalah musuh," terang Shrem.
Ketika ditanya apakah dia lebih suka bermain dengan bola atau pistol, ia tidak ragu-ragu menjawab, 'pistol'.
Sejak beberapa tahun lalu, puluhan ribu warga Yazidi terpaksa meninggalkan rumah mereka, menyelamatkan diri dari kekejaman ISIS. Beberapa bahkan nekat memanjat Gunung Sinjar, namun mereka yang tertangkap tewas dibantai -- ribuan perempuan dan anak perempuan diculik dan dijual sebagai budak.