Liputan6.com, Jakarta - Di Surabaya, 115 tahun yang lalu, di malam yang sudah larut, bintang Kemukus terbit di Timur. Di kepercayaan orang Jawa kuno, lintang berekor yang menyala-nyala itu merupakan tanda akan ada perubahan pada kehidupan umat manusia.
Di malam itulah, seorang bayi laki-laki bernama Kusno Sosrodihardjo lahir. Parasnya tampan, badannya besar dan sehat, matanya menyorot sinar. Setidaknya, itulah yang digambarkan sang Ibunda, Ida Nyoman Rai yang tengah bersukacita setelah melahirkan putra keduanya.
Nyoman Rai menandai rentetan peristiwa alam yang mengiringi kelahiran putranya. Setelah Kusno lahir pada 6 Juni 1901, 17 hari kemudian atau tanggal 22 Juni terjadi letusan besar berulang-ulang. Gunung Kelut meletus dahsyat.
Gunung yang berada di perbatasan antara Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang ini hembuskan awan panas hingga Kediri. Suara gemuruhnya pun terdengar hingga Pekalongan dan hujan abu mencapai Bogor. Tak terbayangkan berapa nyawa melayang, jumlahnya tak pernah tercatat.
Baca Juga
Advertisement
Pertanda alam ini membuat Nyoman Ray yakin, anak keduanya ini kelak mempunyai jalan kehidupannya sendiri. Berbeda dengan anak lainnya.
Sejak kelahiran Kusno, Nyoman Rai terus memanjatkan doa kepada Sang Pencipta supaya kelak putranya dapat menjadi orang besar seperti bupati atau pejabat daerah lain.
Tak ada yang menyangka, anak bungsu pasangan Ida Nyoman Ray dan Raden Soekemi Sosrodihardjo kelak akan membuat sejarah kemerdekaan Indonesia 40 tahun kemudian.
Setelah kelahiran Kusno, keluarga itu pun mendapat berkah. Sosrodihardjo diangkat menjadi mantri guru meski harus dipindah ke Ploso, Jombang. Namun kemudian, keluarga kecil itu kembali berpindah ke Sidoarjo. Di sanalah Kusno mulai bersekolah. Saat pertama kali mengenal pendidikan itulah pikiran Kusno menerawang jauh. Dia bercita-cita menjadi insinyur.
Hubungan Kusno dan kakaknya, Karsinah sama seperti bocah kebanyakan. Senang bermain dan bertengkar. Hingga suatu ketika, Karsinah memiliki ide agar mereka mengganti nama. Mereka tak suka dengan nama yang diberikan kedua orangtuanya.
"Bagaimana Kus, pendapatmu kalau nama kita diganti saja?," kata Karsinah.
"Mengapa diganti? Apa salahnya nama pakai nama Karsinah dan Kusno?" tanya Kusno.
"Saya rasa Kus, nama kita tidak sedap didengar oleh telinga. Ayah kalau memanggil saya Nah, Karsinah...Nah...dan kalau memanggil engkau, Kus...kus..Tikus atau bagaimana engkau ini," Karsinah menimpali.
Kusno diam sejenak. Memikirkan usul kakaknya itu. Kemudian berkata:
"Saya pikir-pikir benar juga, sebenarnya saya sendiri tidak senang dipanggil Kus. Kus itu singkatan dari tikus, atau singkatan dari kakus barangkali. Ah saya tidak mau lagi dipanggil Kus," ujar bocah tampan itu.
Rencana kedua bocah itupun mereka sampaikan kepada ayahnya. Sosrodihardjo pun setuju dengan permintaan anak-anaknya. Namun dengan syarat, Karsinah harus memilih nama dengan awalan Jawa yaitu Ka, sementara Kusno harus dengan huruf Jawa Sa.
"Sanggupkan memenuhi permintaan ayahmu ini?" tanya Sasro.
Keduanya pun kegirangan sambil mengatakan "sanggup". Karsinah pun langsung menemukan nama yang dia senangi. "Saya sudah menemukan nama: Karmini," ucap perempuan itu.
Kemudian, Kusno masih kebingungan mencari nama yang pas untuk dirinya. Sekejap dia memejamkan mata. Lalu mengatakan "Ayah nama yang saya pilih adalah Sukarno! Ya Sukarno, seperti nama adipati Awonggo, perwira yang sakti tiada tandingan itu ayah," ujar bocah laki-laki itu girang.
Ayahnya pun setuju dengan pilihan nama kedua anaknya itu. "Biarlah mulai saat ini aku suruh tiap orang panggil engkau dengan sebutan: Sukarno."
Kisah kelahiran dan perubahan nama Kusno menjadi Sukarno itu dikisahkan dalam buku "Bung Karno Anakku" karya Soebagijo yang diterbitkan tahun 1981.
Namun sumber lain menyebut jika perubahan nama Kusno menjadi Sukarno itu karena dia sering sakit-sakitan. Dalam kepercayaan Jawa, jika anak sakit-sakitan, dianggap membawa nama yang terlalu berat.
Pergantian nama Sukarno ini dilakukan oleh RM Soemosewoyo ayah angkatnya. Hal ini akibat Kusno sering sakit-sakitan.
RM Soemosewoyo adalah kerabat ayah Sukarno. Dia tidak memiliki putra dan juga tidak menikah. RM Soemosewoyo, bersedia mengobati Koesno dengan dua syarat yakni namanya harus diganti dan diambil menjadi anak angkat.
Sukarno dan Kenakalannya
Pada suatu hari, ketika ibunya meminta Sukarno menunggu padi yang sedang dijemur, dia menemukan sebatang kawat. Timbulah dalam pikirannya, dia ingin memancing. Pergilah dia ke sungai dekat rumahnya, tanpa memberitahu ibunda atau kakaknya.
Ketika ayahnya pulang, ternyata pagi-padi itu sudah dimakan ayam. Dicarinya lah Sukarno. Sebenarnya, bocah itu sudah dilarang berkali-kali agar tak bermain di kali. Tapi Sukarno tak menghiraukan larangan ayahnya itu.
Ketika pulang, Sukarno langsung dipukul ayahnya beberapa kali. Agar, dia tak lagi bermain di kali. Sukarno menangis saat dipukul ayahnya. Nyoman Rai pun tak tega melihat anaknya menderita. "Sudahlah nak.. anakku sayang. Diamlah intan...," ujar sang ibunda.
Saat kedua orang tuanya pindah ke Jombang, Sukarno pernah dirawat oleh kakeknya.
Di bawah asuhan sang kakek yang begitu memanjakannya, Sukarno tumbuh menjadi anak kecil yang bandel dan tidak pintar di sekolah.
Gurunya sering dibuatnya kesal. Sukarno jarang sekali menyimak pelajaran. Ia asyik melamun atau menggambar. Saat diminta guru untuk menulis di papan tulis, Sukarno justru menggambar tokoh pewayangan yang begitu dikaguminya: Bima atau Wrekodara.
Sebenarnya, Nyoman Rai memiliki cita-cita yang besar terhadap Sukarno. Dia ingin putranya menjadi 'priyayi' atau menjadi bupati yang dipuja banyak orang. Namun, Sukarno tak mau.
"Saya ingin menjadi insinyur. Itu bu, tukang mencipta, tukang membangun," ujar Sukarno pada ibunya.
Mendengar hal itu, ibunda diam saja. Dia berpikir jika cita-cita anaknya terlalu tinggi. Sementara orangtuanya pun tak memiliki biaya untuk menyekolahkannya setinggi itu.
Setelah Sukarno lulus sekolah HIS, dia kemudian bersekolah ke Sekolah Belanda kemudian melanjutkannya ke tingkat yang lebih tinggi, ke HBS. Jalannya pun terbuka lebar sehingga Sukarno dapat melanjutkannya ke sekolah THS, sekolah calon insinyur.
Pada jaman itu, tak banyak orang dapat masuk ke Europese Lagere School. Namun nasib Sukarno yang beruntung saat itu bisa membawanya ke pendidikan yang dia impikan.
Di sekolah itu, Sukarno unggul di antara teman-teman Belandanya. Putra Ida Nyoman Rai itu tumbuh menjadi anak yang cerdas. Sejak itu, ibunda semakin sering menyendiri untuk memanjatkan doa kepada Sang Pencipta agar kelak Sukarno menjadi orang besar.
Advertisement