Liputan6.com, Jakarta - Wajah Dika terlihat lelah. Bibirnya kering dan mata sedikit merah. Suaranya parau saat memberitahukan penumpang Transjabodetabek tiba di halte-halte yang disinggahi.
"Lumayan pegel sekarang kalau berdiri," kata Dika memulai pembicaraan dengan Liputan6.com, Kamis 2 Juni 2016 malam.
Dika merupakan kondektur Transjabodetabek rute Bekasi-Bundaran HI. Sebelumnya dia bertugas di Transjakarta koridor 9A rute Cililitan-Grogol yang juga melalui Jalan Gatot Subroto, Semanggi.
"Dulu sebelum 3 in 1 dihapus juga macet, tapi hanya pas dekat pintu-pintu masuk tol. Kalau sekarang macetnya rata semua, beda sama sebelumnya," kata Dika.
Dika mengatakan, untuk dapat mencapai rute akhir, dari Bekasi ke Bundaran HI, waktu tempuh cukup fantastis.
"Bisa 3,5 jam. Berangkat dari Bekasi pukul 16.00 WIB, sampai di HI pukul 19.30 WIB," kata Dika, menambahkan bila bus hanya memutar di Bundaran HI dan langsung menuju Bekasi.
Kondisi serupa juga dikeluhkan seorang pengemudi ojek online, Yasin (32). "Biasanya dari Ambasador ke Tanah Abang 20 menit, sekarang bisa sejam lebih," kata Yasin.
Kondisi ini terjadi sejak 3 in 1 dihapuskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Sebelum-sebelumnya macet juga, sama, tapi enggak separah ini," kata Yasin.
Humas Transjakarta Prasetya Budi mengakui jalur Transjakarta saat ini belum seluruhnya steril. Tentunya, dengan tidak sterilnya jalur, maka berdampak pada waktu tempuh.
"Ketika enggak steril, jarak tempuh akan semakin lama," terang Prabu, sapaan akrab Prasetya, saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat (3/6/2016).
Menurut Prabu, ada pertimbangan dari pihak kepolisian terkait penggunaan jalur khusus tersebut oleh kendaraan pribadi, yaitu diskresi untuk mengurai kemacetan.
"Itu sudah kewenangan kepolisian," kata Prabu.
Namun demikian, kata Prabu, pihaknya berupaya mengimbangi dengan fasilitas nyaman bagi penumpang.
"Kita perhatikan AC, interior, supaya penumpang tetap nyaman," kata dia.
Advertisement
Diskresi Kepolisian
Kepala Sub Direktorat Penegakan Hukum Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Budiyanto menjelaskan, dalam pengambilan diskresi (mengambil keputusan dalam situasi yang dihadapi) polisi didasari atas beberapa payung hukum, seperti pasal 18 UU 2/2002 tentang Polri, Pasal 5a ayat 4, UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan pasal 104 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (LLAJR).
"Untuk membangun Kamseltiblancar (Keamanan Keselamatan Ketertiban dan Kelancaran) lalu lintas, polisi memiliki bisa memperlambat atau mempercepat kendaraan dan mengalihkan kendaraan pada situasi tertentu," terang Budiyanto.
"Termasuk saat terjadi kemacetan, kendaraan stuck, polisi bisa untuk memasukkan kendaraan ke jalur Transjakarta. Itu pun sangat selektif sekali kalau sampai benar-benar macet dan diperlukan penguraian," kata Budiyanto.
Budiyanto menjelaskan, faktor kemacetan di Jakarta cukup kompleks. Selain dihadapi dengan lonjakan volume kendaraan, keterbatasan infrastruktur juga menjadi kendala dalam berlalu lintas.
"Pertumbuhan infrastruktur 0,01 persen, sementara kendaraan meningkat sampai dengan 12 persen, tentunya ini menjadi tidak seimbang," jelas Budiyanto.
Selain itu, infrastruktur yang berubah tidak sesuai peruntukannya. Dia mencontohkan pedagang kaki lima yang ngetem di trotoar sehingga pejalan kaki tidak bisa melintas dan turun ke jalan raya.
"Akibatnya ruas jalan menjadi berkurang," kata Budiyanto.
Budiyanto juga mengakui adanya peningkatan kendaraan di ruas-ruas tertentu sejak sistem 3 in 1 dihapuskan.
"Salah satunya orang yang hendak ke Sudirman biasa keluar di beberapa jalan alternatif sekarang berebut keluar semanggi, dampaknya terjadi kemacetan," kata Budiyanto.
Advertisement