Liputan6.com, Semarang - Pernyataan kontroversial Kapolrestabes Semarang Kombes Burhanuddin ketika menyampaikan hasil penyidikan kasus pemerkosaan bocah SD berumur 12 tahun, menuai kecaman. Dalam penjelasannya, ia menyebutkan polisi tidak menemukan unsur paksaan dalam kasus itu, tetapi atas dasar suka sama suka.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Kahar Muamalsyah menyebutkan respons Kombes Burhanudin atas keingintahuan publik sangat mencengangkan. Apalagi PL (korban) masih anak-anak.
"Pernyataan itu jelas bertentangan dengan konvensi Hak Anak (Keppres 36 tahun 1990), CEDAW (UU No. 7 tahun 1984), dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," kata Kahar Muamalsyah kepada Liputan6.com, Jumat (3/6/2016).
Menurut dia, negara semestinya memfasilitasi adanya sistem peradilan yang efektif yang memberikan perlindungan kepada korban serta menghapuskan impunitas bagi pelaku. Namun, pernyataan Kapolrestabes Semarang itu justru menunjukkan negara yang diwakili institusi Polri masih belum berkomitmen melindungi anak korban pelanggaran Hak Asasi Manusia.
"Polisi masih menggunakan perspektif misoginis yang menganggap motif kejahatan seksual terjadi karena kehendak korban," kata Kahar.
Baca Juga
Advertisement
Kahar menyatakan, meski tanpa kekerasan maupun ancaman kekerasan, cukup dengan membujuk anak untuk bersetubuh, sudah masuk kategori pemerkosaan. Dalam KUHP juga diatur bahwa pemerkosaan tidak melulu adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, tapi ketidaksadaran dan ketidakmampuan berpikir secara independen.
"Anak sudah jelas belum mampu berfikir independen, karena masih berada dalam proses tumbuh kembang," kata Kahar.
Kahar tidak menampik ada pelaku yang masih anak-anak. Pelaku ini juga harus mendapatkan perlakuan beda dari pelaku tindak pidana dewasa. Bisa saja ia juga dianggap sebagai korban.
"Tapi itu adalah hal lain. Pemerkosaan tetaplah pemerkosaan, dan itu adalah tindak pidana," kata Kahar.
Tiga Aspek Kejahatan Seksual
Sementara itu, Kriminolog Universitas Diponegoro Semarang, RB Sularto menyebutkan kejahatan seksual dengan pelaku massal bisa terjadi karena ada tiga aspek. Pertama adalah pelaku yang termotivasi (motivated offender) karena minuman keras/obat. Selain itu, masuk kategori pertama ini adalah pelaku yang berada dalam kelompok yang superior dan sejenisnya.
"Kedua adalah korban yang berada dalam kondisi tertentu (suitable target). Misalnya, berada di tempat sunyi dan sejenisnya. Sedangkan, aspek ketiga adalah ketiadaan pengawasan yang memadai (the absence of capable guardian)," kata Sularto.
Bila ketiga aspek itu terakumulasi, peluang terjadinya kejahatan seksual tinggi. Penanggulangan kejahatan model ini harus mempertimbangkan ketiga aspek itu.
"Pidana yang keras seperti Perppu 1/2016 dengan pidana badan (corporat punishment) bukan satu-satunya cara terbaik menanggulangi kejahatan jenis ini," kata Sularto.
Atas dasar itulah, penerapan pasal pidana untuk menjerat pelaku memang harus hati-hati. Namun, kejahatan tetaplah kejahatan.
"Penanggulangan kejahatan yang bersifat non-penal seperti pengendalian minuman keras, intensifitas patroli keamanan yang melibatkan kemitraan dengan masyarakat bisa saja menjadi salah satu solusi pencegahan," kata Sularto.
Pendapat senada juga dilontarkan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Arist Merdeka Sirait. Ia dengan tegas menampik anggapan tindak asusila terhadap bocah Semarang dilakukan atas dasar suka-sama suka. Menurut dia, setiap orang yang melakukan hubungan seksual terhadap anak di bawah umur 18 tahun adalah tindak pidana.
"Dalam UU Perlindungan Anak itu tidak disebut suka sama suka," kata Arist.
Ia mengatakan segala tindakan pelecehan seksual masuk dalam kejahatan luar biasa sesuai dengan regulasi yang berlaku. "Menurut saya itu kejahatan seksual yang dikenal dalam UU Perlindungan Anak," kata Arist.