Liputan6.com, Urumqi - Bagi umat Muslim di seluruh dunia, bulan duci Ramadan adalah bulan yang paling ditunggu. Di bulan ini, umat Muslim berpuasa menahan nafsu sepanjang hari demi menjalankan salah satu perintah Tuhan. Namun, beda tempat, lain pula cara untuk menyambutnya.
Meski tak semeriah di Jakarta misalnya, jauh dari ramai, seorang pengajar dari etnis Uighur di sekolah di Xinjiang mengaku umat Islam di sana tahun ini berharap merayakan Ramadan dalam keadaan damai.
Baca Juga
Advertisement
Etnis Uighur di Xinjiang merupakan minoritas terbanyak setelah Hui yang beragama Islam. Keturunan Turki itu telah menduduki lembah Sungai Tarim semenjak ribuan tahun lalu.
Pasca-insiden berlatarbelakang etnis yang terjadi pada 2009, pemerintah pusat dan otonomi daerah Uighur Xinjiang berhasil memulihkan situasi.
"Kami mengakui adanya insiden di masa lalu. Namun, kini kami membenahi semua itu. Untuk ibadah puasa, tak ada diskriminasi apapun terhadap kaum Muslim di Xinjiang," ungkap Hili Yang Anayiti, sekretaris pemerintahan otonomi.
"Restoran Muslim mau buka mau tidak, itu terserah sama pemiliknya," ucap Anayiti lagi.
Disinggung tentang peraturan yang melarang usia di bawah 18 tahun untuk berpuasa, Anayiti mengatakan itu hanya imbauan.
"Sekarang Ramadan jatuh pada musim panas. Seperti Anda ketahui, musim panas di sini matahari terbit pukul 06.00 dan tenggelam pukul 22.00," kata dia.
"Kami hanya mengimbau bagi pemuda atau pemudi atau siapa pun yang tak mampu berpuasa sepanjang itu, kami tak larang. Boleh puasa lebih dari 12 jam boleh tidak. Itu juga yang diajarkan dalam Islam. Tak memaksa umatnya yang tak mampu berpuasa," ujar pria etnis Uighur yang duduk di kursi pemerintahan lokal.
Mayoritas etnis Uighur menduduki 60 persen kursi di parlemen lokal. Masih menurut Anayiti, Hari Raya Idul Fitri pun dijadikan libur nasional dan semua warga berhak merayakannya.