Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) membantah mengalami kerugian sebesar Rp 15 triliun dari penjualan Premium sepanjang 2015. Namun angka tersebut dinilai sebagai potensi kehilangan pendapatan (opportunity lost) yang diterima Pertamina lantaran adanya selisih dari harga Premium yang jual pada tahun lalu.
"Bukan rugi, tapi selisih yang harus kita tanggung. Itu potensi kehilangan pendapatan," ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro di Jakarta, Jumat (3/6/2016).
Untuk pada tahun ini, opportunity lost tersebut diharapkan tidak akan dialami lagi oleh Pertamina. Pasalnya saat ini harga yang dibanderol untuk Premium merupakan harga keekonomian dan tidak lagi mendapatkan subsidi dari pemerintah. Selain itu, dengan adanya produk baru yaitu Pertalite, konsumsi Premium juga mengalami penurunan.
"Kalau tahun ini kan kita sudah tidak disubsidi lagi. Jadi sebenarnya kita lihat Januari kondisi Premium tahun ini agak turun konsumsinya karena adanya Pertalite. Jadi tadinya 100 persen sekarang 79 persen dari total konsumsi gasoline nasional. Nah itu tentunya kita akan estimasi," kata dia.
Baca Juga
Advertisement
Untuk menghindari potensi kerugian semacam ini pada tahun-tahun mendatang, lanjut Wianda, Pertamina terus mendorong penjualan jenis BBM yang bukan merupakan penugasan dari pemerintah seperti Premium. Pertamina mendorong masyarakat untuk lebih banyak menggunakan BBM seperti Pertalite, Pertamax dan Pertamax Plus yang harganya mengikuti mekanisme pasar.
"Tapi memang harapan kita lebih menggenjot yang jenis-jenis non-penugasan, namanya bukan non-subsidi lagi. Karena semua sudah nggak ada yang disubsidi kecuali solar. Makanya kita terus berinovasi mengeluarkan seperti Pertalite. Kalau Pertamax juga terus naik. Pertamax itu hariannya kalau normal sekitar 8.000 kilo liter (KL)," tandas dia.
Sebelummya pada Selasa 31 Mei 2016 lalu, Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto mengatakan bahwa Pertamina masih mampu mencetak laba bersih senilai US$ 1,42 miliar atau setara Rp 18,9 triliun (estimasi kurs Rp 13.500 per dolar AS) pada periode 2015. Dengan pencapaian tersebut, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini sepakat menyetor dividen ke negara senilai Rp 6,8 triliun.
Harga minyak dunia pada tahun lalu terseret ke bawah hingga 60 persen dari US$ 106 per barel menjadi US$ 42 per barel. Kondisi ini berpengaruh terhadap kinerja keuangan Pertamina meskipun tidak separah perusahaan migas di dunia yang berimbas pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Dengan efisiensi kita tingkatkan, kebocoran saat distribusi migas dikurangi, serta strategi lainnya, kita masih mampu meraih laba bersih US$ 1,42 miliar. Sedangkan pendapatan yang dibukukan tahun lalu mencapai US$ 41,76 miliar, dan EBITDA US$ 5,13 miliar sehingga dividen ditetapkan Rp 6,8 triliun dari laba perusahaan,” ujarnya saat Konferensi Pers di kantor pusat Pertamina, Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Dari laporan keuangan yang dirilis, nilai pendapatan Pertamina ini tercatat turun signifikan 40,34 persen dari periode 2014 lalu yang mencapai US$ 70 miliar. Sementara laba bersih tahun ini turun tipis 1,82 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar US$ 1,45 miliar. Namun EBITDA margin justru meningkat 49,82 persen dari 8,20 persen menjadi 12,28 persen.
“EBITDA margin ini tertinggi sepanjang dalam 5 tahun terakhir,” tambah Direktur Keuangan Pertamina Arif Budiman.