Kisah Pernikahan Orangtua Bung Karno di Pulau Dewata

Sukarno juga menceritakan betapa sulitnya perjuangan sang ayah mendapatkan cinta sang ibu.

oleh Luqman Rimadi diperbarui 05 Jun 2016, 20:48 WIB
Soekarno sungkem Ibundanya

Liputan6.com, Jakarta - Rencana pernikahan Raden Soekemi Sosrodiharjo dan Ida Nyoman Rai atau Idayu tak mulus. Mereka berbeda suku dan agama. Kelak, dari pernikahan mereka lahir Sukarno, Sang Proklamator RI.

Ida Ayu Nyoman Rai, yang mempunyai nama kecil Idayu, lahir sekitar 1881 di Buleleng, Bali, sebagai anak kedua dari pasangan Nyoman Pasek dan Ni Made Liran.

Sewaktu kecil orangtuanya memberi nama panggilan "Srimben", yang mengandung arti limpahan rezeki yang membawa kebahagiaan dari Bhatari Sri.

Semasa remaja di Banjar Bale Agung, Nyoman Rai bersahabat dengan Made Lastri. Sahabatnya ini yang yang kemudian mengenalkan Nyoman Rai dengan seorang guru asal Jawa bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo.

Dalam buku berjudul Bung Karno, Anakku yang ditulis Soebagijo IN, Nyoman Rai menuturkan, pertemuan dengan Soekemi berawal ketika guru muda penuh wibawa itu menyambangi rumahnya. 

"Soekemi datang ke rumah kami. Setelah saya mendengar orang ber-kula nuwun di depan rumah dan saya pergi untuk menerimanya, saat ia berbalik melihatku, tiba-tiba dia seperti orang terperanjat melihat wajahku," kenang Nyoman Rai.

Soekemi rupanya kerap mencuri-curi pandang terhadap Nyoman Rai saat ia sedang berjalan menuju pura atau sedang melakukan kegiatan menari. Dari situlah cinta tumbuh.

"Dia berkata, kalau tidak keliru saya pernah melihat saudari menari atau ikut sesaji," ucap Nyoman Rai mengenang masa mudanya.

Perbedaan adat sempat membuat tambatan cinta keduanya terhalang. Nyoman Rai yang seorang keturunan ningrat dari Kasta Brahmana, berdasarkan adat harus menikah dengan kasta dan golongan yang sama atau lebih tinggi.


Kawin Lari

Inggit Garnasih (baju hitam) berfoto bersama keluarga tahun 1919. Pria yang berdasi hitam berdiri di belakang Inggit adalah H. Sanoesi (suaminya yang pertama). Diabadikan di muka rumahnya di Jl. Kebonjati, Bandung.

Sukarno mengisahkan sulitnya perjuangan sang ayah mendapatkan sang ibu.

Awalnya Soekemi harus mendapatkan penolakan karena selain berbeda adat, keduanya juga mempunyai keyakinan berbeda. Idayu seorang Hindu yang taat, sedangkan Soekemi merupakan seorang muslim. 

"Orangtua ibuku berkata, engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali- sakali tidak, kami akan kehilangan anak kami," kata Sukarno.

Karena tak memungkinkan untuk mendapatkan persetujuan, satu-satunya cara yaitu Idayu dibawa kabur. Cara itu pun dipilih untuk menyatukan cinta mereka. Soekemi membawa lari Idayu. Buleleng gempar.

Keluarga mencari ke mana-mana. Ketika Nyoman Rai akhirnya ditemukan, pengadilan adat digelar. Idayu ditanya, "Maukah dirimu menikah dengan Soekemi?"

Idayu menjawab, "Ya, bersedia."

Keputusan ini sarat konsekuensi. Nyoman Rai diharuskan untuk melepas gelar kebangsawanannya. Bahkan, setelah menikah, ia tidak diperkenankan membawa berbagai benda yang berasal dari keluarganya.

"Jangankan perhiasan berupa cincin atau gelang, pakaian yang dibelikan oleh orangtuanya pun tidak boleh sekali-kali dikenakan olehnya. Yang semacam itu dianggap sebagai hukuman baginya," tulis Soebagijo IN dalam Bung Karno, Anakku.

Keduanya pun akhirnya resmi menikah pada 15 Juni 1887. Putri pertama mereka, Raden Soekarmini (juga dikenal sebagai Bu Wardoyo), lahir pada 29 Maret 1898. Mereka kemudian pindah ke Surabaya.

Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams disebutkan, darah perjuangan yang mengalir ke Sukarno diturunkan dari garis sang ibunda yang merupakan keturunan terakhir raja Singaraja.

"Kakek moyangku merupakan pejuang kemerdekaan yang penuh semangat. Moyangku gugur dalam perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali. Di situ terjadi pertempuran sengit melawan penjajah," ucap Bung Karno.

Nyoman Rai juga disebut sering menceritakan kisah-kisah heroik perjuangan mengusir penjajah.


Ibunda Memarahi Para Pejuang

Semasa kecil, Bung Karno sering diperdengarkan kisah mengenai perjuangan nenek moyangnya dalam perang Puputan, dan kisah Pangeran Diponegoro, juga heroisme para pejuang di pelosok negeri  mengusir Belanda dari bumi Nusantara.

Karakter dan mental kuat melawan penjajah yang dimiliki Bung Karno juga diturunkan dari sang ibunda.

Bung Karno menceritakan, pada 1946, di sejumlah daerah terjadi perlawanan jarak dekat antara laskar-laskar pejuang dengan musuh. Kejadian ini di Blitar, persis di belakang rumah tempat tinggal keluarga Soekemi dan Nyoman Rai.

Pasukan Indonesia berkumpul, menunggu dalam suasanan tiarap, diam. Untuk sekian lama, mereka hanya diam dan menunggu. Ibunda Bung Karno semula hanya diam, memaklumi sebagai siasat perang.

Tetapi, ketika sekian lama tidak ada pergerakan, anggota laskar hanya diam dan menunggu, Nyoman Rai jengkel.

Dengan mata menyala-nyala, keluarlah Nyoman Rai menghampiri pasukan yang masih diam menunggu. Suaranya keras, membentak para pejuang. 

"Kenapa tidak ada tembakan? Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?" kata dia.

Belum sempat ada satu pun yang menjawab, ketika Nyoman Rai mencecar kembali dengan nada tinggi.

"Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda? Majulah kalian semua, keluarlah dan bunuh Belanda- Belanda itu," ujar dia.

Tak hanya memuji sang ibunda dari garis keturunan nenek moyangnya dari Bali, Bung Karno juga mengaku bangga dengan keluarga sang ayah dari tanah Jawa.

"Keluarga Bapak juga patriot-patriot hebat. Nenek dari nenek bapak memiliki kedudukan setingkat di bawah seorang puteri yang merupakan pejuang pendamping pahlawan besar kami, Pangeran Diponegoro," kata Bung Karno.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya