Liputan6.com, Phoenix- Kabar meninggalnya Muhammad Ali, pria yang kerap kali dijuluki sebagai petinju terhebat sepanjang masa, mengundang kesedihan berskala global. Sosok yang pernah tiga kali mengemban posisi juara dunia kelas berat, dicintai oleh banyak orang dari segala umur.
Kehebatannya saat beraksi di atas ring tinju bukanlah satu-satunya daya tarik yang ia punya semasa hidup.
Baca Juga
Advertisement
Pada tahun 1965, Ali membuat suatu keputusan besar dalam hidupnya: masuk Islam. Ali yang sebelumnya bernama Cassius Marcellus Clay, Jr itu menjadikan pengalaman naik hajinya sebagai alasan utama di balik keputusan untuk memeluk agama Islam.
"Saya sudah melewati banyak masa-masa menyenangkan dalam hidup. Akan tetapi tak ada yang bisa mengalahkan rasa kepuasan hati dan ketenangan batin ketika saya menginjakkan kaki di atas Padang Arafah pada saat naik Haji," kata Ali, mengutip dari Saturday Evening Post, Sabtu (4/6/2016).
Ali lanjut menjelaskan, bahwa di sanalah ia merasa telah menemukan kesenangan yang tak dapat terlukiskan dan atmosfir spiritual yang tak bisa dijelaskan namun hanya bisa dirasakan.
"Saya dapat merasakan keagungan yang Maha Kuasa, melihat hampir sejuta jemaah haji memohon kepada Allah untuk mengampuni dosa mereka juga memohon karunia-Nya," lanjutnya.
Menurut Ali, pengalaman di mana ia bisa merasakan keagungan Allah dan menyaksikan banyak orang dengan latar belakang ras, kebangsaan dan status sosial yang berbeda menyembah-Nya secara serentak tanpa ada rasa angkuh merupakan suatu bentuk kebahagiaan yang tak terlupakan.
"Islam telah mengajarkan kita semua konsep kesetaraan, dan hal tersebut telah dipraktekkan oleh kaumnya," tambahnya.
Seperti dilansir dari Daily Mail, menjadi seorang Muslim telah membuat Ali berubah menjadi pribadi yang rendah hati dan tidak sombong. Ia berbicara sedikit mengenai prestasinya dan lebih fokus menekankan pentingnya agama Islam, sebagai kekuatan spiritual dalam diri seseorang.
Mengganti namanya menjadi Muhammad Ali juga merupakan langkah besar yang ia sangat banggakan, terlepas dari kicauan media dan publik pada era 60-an yang mayoritas masih konservatif terhadap agama Islam.
Pada tahun 1967 silam, dirinya menolak untuk turut berpartisipasi dalam peperangan AS melawan Vietnam. Alasannya karena ia adalah seorang petinggi dalam agama Islam.
Keputusannya pun berujung pada 'vonis' The New York Athletic Commission yang memberhentikan ijinnya sebagai petinju untuk sementara waktu. Ia juga tak diakui sebagai seorang juara dunia.
Sementara itu, Ali juga berkontribusi besar untuk agama Islam dengan dirinya secara konsisten menceritakan arti agama tersebut baginya dan bagaimana hal menjadi seorang Muslim telah mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Sebagai anggota dari Nation of Islam, ia sering kali berkhotbah tentang perjalanannya menjadi seorang pahlawan kulit hitam di AS yang beragama Islam.
Semasa hidupnya, ia terus menyalurkan ilmu tentang Islam melalui jalur pendidikan dan ia pun terdaftar sebagai kontributor utama yang membiayai lembaga Islam seperti, Masjid al-Faatir, masjid pertama di kota Chicago, negara bagian Illinois, AS.
Ali diketahui berkeinginan untuk mendekatkan orang lain kepada Allah.
Membela Islam
Beberapa waktu lalu sebelum tutup usia, Muhammad Ali sempat melontarkan kritikannya terhadap Donald Trump atas kebijakannya melarang muslim masuk AS apabila kelak terpilih menjadi kepala negara.
"Saya adalah seorang Muslim. Apa yang dilakukan di Paris, San Bernardino, atau di bagian dunia manapun bukanlah aksi dan sikap yang mencerminkan Islam. Semua itu bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Islam," ungkapnya, seperti dikutip dari The Guardian.
Ali memandang pelarangan untuk kalangan Muslim masuk AS adalah suatu bentuk upaya untuk menjauhkan orang dari Islam dan ajarannya.
"Mereka telah mengisolasi Islam. Seorang Muslim yang sesungguhnya tidak mungkin melakukan kekerasan dan pastinya tahu bahwa Islam mengajarkan kita untuk tidak memaksakan kehendak orang lain,”terangnya.
Petinju legendaris Muhammad Ali itu kini tinggal kenangan, ia tutup usia pada tanggal 3 Juni 2016 di Phoenix, Arizona, AS setelah lama menderita penyakit parkinson.