Tax Amnesty Dapat Perluas Basis Data Pajak

Kebijakan tax amnesty dapat berjalan optimal perlu kesiapan administrasi dari instansi terkait.

oleh Septian Deny diperbarui 06 Jun 2016, 11:02 WIB
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak/tax amnesty masih berlangsung antara pemerintah dengan DPR. Pemerintah menargetkan tax amnesty ini bisa diterapkan pada 1 Juli 2016, namun hingga saat ini masih ada beberapa aturan atau pasal yang masih menjadi perdebatan.

Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan pada prinsipnya, tax amnesty dibuat selain sebagai instrumen untuk mendongkrak sisi penerimaan pajak, juga diharapkan dapat memperluas basis data perpajakan.

Selain itu kebijakan ini juga diharapkan bisa mendorong repatriasi modal dan menambah jumlah wajib pajak serta menambah kepatuhan wajib pajak tersebut.

"Prinsipnya kita harus segera finalisasikan. Kegunaan tax amnesty itu tidak hanya untuk menggenjot setoran pajak saja, tapi juga bisa meningkatkan basis pajak, repatriasi modal, dan jumlah wajib pajak serta kepatuhan wajib pajak juga," ujar dia di Jakarta, Senin (6/6/2016).

Yustinus mangatakan, agar implementasi tax amnesty berjalan optimal, maka perlu ada kesiapan administrasi dari instansi terkait, khususnya Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

"Dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, manajemen data dan informasi, sistem IT terintegrasi, serta kordinasi dengan instansi penegak hukum lain seperti OJK, PPATK, Kejaksaan dan Polri memang harus terintegrasi agar bisa berjalan optimal," ungkap dia.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta pernah menuturkan, pemerintah dan DPR masih membahas RUU Tax Amnesty dalam sebuah Rapat Panja. Pertemuan tersebut tentu akan memutuskan terkait besaran tarif tebusan deklarasi maupun repatriasi harta di luar negeri.

"Kita ingin memperbanyak capital inflow atau dana masuk ke dalam negeri, jadi tarif harus atraktif. Karena ada tawaran tarif tebusan tax amnesty lebih tinggi dari yang diusulkan pemerintah dalam RUU," ucap Arif.

Dalam perubahan terakhir draf RUU Pengampunan Pajak, tarif uang tebusan yang harus disetor ke negara bagi peserta tax amnesty adalah sebesar 2 persen di tiga bulan pertama. Selanjutnya di tiga bulan berikutnya dikenakan tarif 4 persen bagi yang mendeklarasikan uangnya di luar negeri.

Sementara bagi pemohon tax amnesty untuk repatriasi modal dipungut sebesar 2 persen pada tiga bulan pertama dan berikutnya 3 persen di tiga bulan berikutnya. Upaya lainnya, Arif mengakui, pemerintah harus menyiapkan instrumen memadai untuk menampung banjirnya aliran dana yang akan masuk ke Indonesia dengan kebijakan pengampunan pajak.

"Sediakan pipeline karena repatriasi banyak masuk. Tawarkan kerja sama Public Private Partnership (PPP). Skema pembangunan infrastruktur ini harus dikembangkan pemerintah," kata dia.

Dengan begitu, Arif berpendapat, implementasi tax amnesty dapat berjalan mulus dan berhasil. Berdasarkan historis, Indonesia sebelumnya telah menjalankan dua kali kebijakan pengampunan pajak, yakni pada periode 1964 dan 1984. Sayangnya, dua kali pelaksanaan tax amnesty yang dilakukan pemerintah saat itu mengalami kegagalan.

"Dengan tarif tebusan tax amnesty atraktif, dan instrumen memadai, harapannya uang yang masuk ke Indonesia untuk jangka panjang. Bukan saja memperkuat fiskal di tahun ini, tapi sifatnya kesinambungan fiskalnya lebih lama," tutur Arif. (Dny/Ahm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya