Liputan6.com, Yogyakarta - Aksi pensiunan guru SMA Kolose John De Britto Yogyakarta, Hardjosudiro, patut ditiru. Di usia senja, ia rela menjual sepeda motor Suzuki FR warna hijau tahun 1977 senilai Rp 36,4 juta. Namun, hasil penjualan motor antik itu tidak dinikmati sendiri.
Ia menyumbangkan sebagian besar hasil penjualan sepeda motor kepada dua yayasan anak difabel Bakti Luhur di Malang, Jawa Timur dan Yogyakarta, serta gereja. Total sumbangannya sebesar Rp 21,5 juta.
Pensiunan guru yang genap berusia 80 tahun itu mengaku memberikan sebagian hasil penjualan motor itu karena rasa ingin berbagi kepada sesama.
"Kalo tak dekemi dewe (kalau disimpan sendiri), ya enggak enak. Harus ada semangat berbagi," ucap pensiunan guru itu kepada Liputan6.com di kediamannya Mancasan, Wirobrajan, Kota Yogyakarta, Senin, 6 Juni 2016.
Baca Juga
Advertisement
Pensiunan guru kimia itu menjual sepeda motor kesayangannya lantaran faktor usia yang sudah lanjut. Ia tidak mungkin bisa memperpanjang SIM C. Ditambah ia sakit jantung hingga harus dipasangi alat pacu jantung sejak 2015.
"Umur segini ditambah sakit saya, jadi ya enggak pakai motor lagi. Sudah rasan-rasan (merasakan) sebelumnya mau jual. Anak juga bilangnya terserah Bapak. Ya udah dijual saja," ujar Hardjosudiro.
"Oktober 2015 saya masuk Panti Rapih karena sakit jantung gejala sudah lama lima tahun ada. Dokternya, dokter RS Sardjito, minta untuk dipasang alat jantung, ya dipasang. Jadi sebulan sekali kontrol ke Sardjito," ia menambahkan.
Motor Kesayangan
Kakek kelahiran Yogyakarta 25 Februari 1936 ini mengaku motor itu menjadi saksi hidupnya. Sebab sejak beli karena diminta oleh Romo pimpinan SMA Kolese John De Britto waktu itu, ia tidak pernah beli motor lagi.
Saat itu, ia disuruh membeli motor tersebut karena semua guru sudah menggunakan sepeda motor. Namun, ia dan temannya yang rumahnya jauh masih mengendarai sepeda Onthel.
"Saya sebelumnya naik sepeda onthel dari rumah Tirtodipuran ke De Britto, lalu Romo meminta beli motor dan dipinjami uang. Ya sudah saya beli motor ini harganya saat itu Rp 300 ribu, bayarnya potong gaji satu bulan Rp 15.000," tutur sang kakek.
Suami dari Theresia Sutarti (79) ini yakin menjual sepeda motornya. Selanjutnya, ia mencoba menghubungi salah satu muridnya atau alumni SMA Kolose John De Britto, Gani Sucahyo, dokter gigi di Kediri Jawa Timur. Gani lalu melelang sepeda motor tersebut di grup online alumni SMA Kolese De Britto.
Waktu itu harga tertinggi hanya Rp 15 juta. Namun anak didiknya itu berkumpul dan patungan dengan harapan dapat membantu sang guru, sehingga terkumpul uang Rp 36,4 juta.
"Ya tidak mengira sebesar itu, tapi memang siswa dan alumni De Britto tertanam jiwa menolong. Dulu saat saya di rumah sakit mereka juga patungan untuk membantu. Uangnya dikasihkan cash. Waktu itu di kafe di Concat, lupa saya malam Minggu kemarin," tutur Hardjosudiro.
Guru yang mengajar sejak 1959-1996 dan sempat diangkat guru tetap 1972 itu mengaku dekat dengan anak-anak didiknya. Walaupun mengaku tidak terlalu dekat, yang jelas ia tidak pernah dijahili anak didiknya.
"Kalau jauh ya tidak, dekat juga tidak. Sekian tahun mengajar belum pernah dinakali oleh para siswa. Pakaian kan bebas sandal kaos oblong boleh saja. Sekarang pun hariannya bebas. Seragam cuma dua hari," kata dia.
Anak didiknya memang menginginkan agar sepeda motor itu tidak dijual. Mereka ingin agar sepeda motor itu disimpan saja. Namun Hardjosudiro tidak menginginkan itu. Ia sudah yakin untuk menjualnya. Bahkan yang beli itu adalah teman anaknya.
"BPKP dan STNK sudah diserahkan. Yang beli teman sekelas anak saya angkatan 91. Anak saya juga di De Britto," ia mengungkapkan.
Penari Keraton Pemeran Gatotkaca
Ia menceritakan sepeda motor itu memiliki kesan tersendiri. Bahkan ada kisah yang sendiri dengan sepeda motor itu. Tahun 1986 ia pernah ketabrak truk yang mengakibatkan ia sakit parah di bagian kiri.
"Pernah mengalami musibah ketabrak truk yang dikendarai kernetnya 1986. Prapatan Dagen. Kaki kiri dipen. Setengah tahun pen diambil. Motor relatif rusak," kata Hardjosudiro.
Setelah kejadian itu, Hardjosudiro yang suka menari tak bisa lagi mentas. Padahal, ia biasa memerankan tarian tokoh Gatotkaca dan Hanoman. Ia tak bisa menari lagi karena kakinya dipasang pen.
Hardjosudiro menuturkan pula, ia mengenal dunia tari sejak umur 14 tahun. Ia kemudian bergabung dalam kelompok siswa Amongbekso atau penari keraton. Bahkan, ia sering pergi ke luar negeri seperti Eropa dari hasil menari. Ia juga mengaku bisa menari klasik atau tarian wayang orang.
"Pernah jadi Gatotkaca selama 19 tahun. Penari keraton. Seringnya jadi Gatotkaca. Tapi Hanoman juga pernah. Tari klasik saya bisa, wayang orang juga bisa," ujar pensiunan guru nan dermawan tersebut.