Liputan6.com, Abu Ghraib - Seorang wartawan yang sedang bertugas di Kamp Ahal, Ben Wedeman, menceritakan pengalaman dan kondisi para pengungsi korban perang selama ia berada di sana.
Di kamp yang terletak di tepi Abu Ghraib di pinggiran Baghdad tersebut, terdapat sekitar 350 keluarga tinggal bersama di ruangan berdinding batako atau di bawah tenda-tenda plastik.
Dikutip dari CNN, Selasa (7/6/2016), kondisi kamp tersebut sangat memprihatinkan. Angin mengembuskan hawa panas, debu, dan hanya tersedia sedikit toilet, listrik, dan air.
Salah seorang pengungsi, Tamir Ali, datang ke kamp tersebut bersama dengan keluarganya yang berjumlah 23 orang pada Kamis, 2 Juni 2016 dari Kota Karma, sebelah timur laut Falluja.
Baca Juga
Advertisement
"Kami meninggalkan ternak, mobil, rumah, semuanya," ujar Tamir.
Ia terpaksa mengungsi ketika pertempuran terjadi. Tamir bercerita bahwa serangan pasukan udara Irak dan pemberondongan senjata dilakukan secara acak. Warga pun pergi meninggalkan rumahnya dan mencari gedung bertingkat sebagai tempat berlindung.
Saat peristiwa itu, Tamir dan keluarganya masih bersembunyi di rumah, tapi sengaja membuka pintunya lebar-lebar.
"Ketika Da'ish (akronim Arab untuk menyebut ISIS) datang, mereka mengira bahwa rumahnya telah kosong. Keluarga lain tak melakukan hal itu. ISIS pun mengambil mereka secara paksa atau membunuhnya di tempat," ujar Tamil ketika menggambarkan serangan tersebut.
Ketika para militan ISIS melarikan diri dan pasukan Irak mengambil alih Karma, Tamir keluar dan melambaikan seprai putih. Tentara tersebut kemudian membawa ia beserta keluarganya ke sebuah truk dan membawa mereka ke Kamp Ahal.
Cerita lainnya datang dari dari seorang perempuan bernama Um Khalid--nama samaran. Walaupun mengaku lega dapat selamat dari pertempuran itu, ia masih khawatir akan nasib suami dan anak remajanya.
"Mereka mengatakan akan dibebaskan besok, atau lusa, atau setelah lusa. Tapi saya belum mendengar apa-apa," ujarnya.
Kabur Agar Tak Dijadikan 'Perisai Hidup'
Seorang pemuda lain bernama Talib Farhan juga bercerita tentang kondisi saat pertempuran mendekati desanya.
Militan ISIS mengunjungi satu pintu ke pintu lainnya dan mengumumkan bahwa warga harus berjalan menuju pusat Kota Falluja di mana kelompok radikal itu akan menggunakannya sebagai "perisai hidup".
"Itu adalah perintah. Jika menolaknya, kamu akan ditembak di tempat," ujar Talib.
Namun mengikuti perintah ISIS sama saja menggiring diri sendiri ke dalam kematian.
Awalnya ia berserta keluarga dan tetangganya berjalan untuk mematuhi perintah. Namun ketika para militan berpindah ke jalan lain, Talib memimpin sebanyak 30 orang ke arah berbeda menuju rawa-rawa di pinggir kota.
"Kami tinggal di sana selama tiga hari, minum air kotor, dan memakan kurma lama. Tuhan telah melindungi kami. Ia telah menyembunyikan kami dari Da'ish," tutur pemuda itu.
Kisah berikutnya datang dari bocah berusia 10 tahun bernama Muhammad Annad dari Saqlawiya. Ia terbakar minyak tanah dari kompor di dapurnya.
Menurut keterangan ayahnya, Najim, peristiwa tersebut terjadi sesaat sebelum pertempuran itu terjadi. Namun ia tak dapat mengobati anaknya karena jalan menuju rumah sakit mustahil untuk dilalui.
Annad harusnya dirawat di bangsal luka bakar, bukan di tempat dengan fasilitas sangat minim. Najim mengatakan bahwa ia tak mampu membayar perjalanan ke Bagdad atau membeli obat yang dibutuhkan Annad.
Pertempuran di Falluja antara militan ISIS dengan pasukan Irak berlangsung pada 23 Mei 2016 lalu. Pasukan tersebut berniat mengambil kembali kota tersebut setelah ISIS merebutnya pada Januari 2014.
Advertisement