Liputan6.com, Washington, DC - Ron dan Vanessa Ford, orangtua dari balita yang merupakan seorang transgender berusia 5 tahun belum lama ini menulis alasan mereka mendukung kebijakan Presiden Barack Obama yang meminta setiap sekolah mengakomodasi para siswa transgender. Mereka menulis opini itu di The Washington Post.
Namun di luar dugaan, tulisan mereka itu mengundang celaan dari pemerintah, mulai tingkat lokal hingga negara bagian karena kebijakan Obama itu dipandang sebagai campur tangan pemerintah federal. Hal utama yang disoroti adalah isu terkait penggunaan kamar mandi yang sesuai dengan jati diri masing-masing anak.
Baca Juga
Advertisement
Bagi keluarga Ford, perdebatan itu sesungguhnya adalah bentuk diskriminasi. Demikian seperti dikutip The Washington Post, Kamis (9/6/2016).
"Kami adalah pasangan berbeda ras. 50 tahun lalu, di berbagai tempat di negara ini mendiskriminasikan kami adalah perbuatan yang legal karena hal mendasar di dalam diri kami hina dan salah. Begitu juga dengan putri kami," ujar mereka.
Ron dan Vanesa pun mengajak para pembaca untuk membandingkan debat soal kamar mandi bagi kalangan transgender ini dengan debat hak-hak sipil AS. Menurut mereka, ada begitu banyak tanggapan yang mewakili luasnya persepsi dan perasaan terkait dengan perdebatan itu sendiri.
"Kami mendengar dari mereka yang mendukung kebijakan itu bahwa perjuangan hak-hak transgender serupa dengan perjuangan hak-hak sipil pada era Jim Crow, sementara yang lain menganggap keduanya tidak pantas untuk dibandingkan," tulis mereka.
Hal inilah yang lantas mengundang beragam reaksi dari para pembaca. Sebagian menyatakan dukungannya terhadap tulisan Ron dan Vanesa.
Salah satunya, seorang transgender berusia 55 tahun asal Jerman. Ia mengaku hampir menghabiskan masa remajanya dengan menyembunyikan jati diri dan penolakan.
"Saya setuju dengan dengan artikel itu dan maksud yang terkandung di dalamnya," tulis seorang transgender yang sependapat dengan artikel Ron dan Vanesa.
Sementara itu, sebagian menolak debat isu transgender ini dibandingkan dengan debat hak-hak sipil.
"Sungguh sangat menghina membandingkan hak-hak kaum transgender dengan pergumulan yang dihadapi orang kulit hitam. Tidak bisa dibandingkan sama sekali karena keduanya adalah situasi yang sungguh-sungguh berbeda. Kaum transgender belum sampai dibunuh, digigit anjing polisi, disemprot dengan air hidran bertekanan tinggi, dan diperlakukan sebagai warga kelas dua, maka perbandingannya asal-asalan!," ujar seorang pembaca berusia 23 tahun.
Namun ada juga yang menganggap isu transgender tak terlalu penting untuk diperdebatkan.
"Sudahlah. Yang ada dalam celana seseorang bukan urusan orang lain. Biarkan seseorang menggunakan kamar mandi seperti yang mereka mau. Orang takut ada 'pria' di dalam kamar mandi wanita, padahal orang sebelahmu yang memeriksa riasan ternyata memiliki penis, lalu mereka mengira itu suatu kesalahan karena mereka memiliki otak seorang wanita. Kaum transgender sudah ada sejak zaman dahulu dan sudah memakai kamar mandi sejak tempat itu dibangun," tulis seorang pembaca berusia 53 tahun.
Dalam tulisannya, Vanessa pun menyinggung sejumlah penelitian yang menyebutkan bahwa anak transgender didukung dan diterima oleh keluarga mereka -- sebuah populasi yang sulit dipelajari hingga saat ini karena penerimaan terhadap mereka adalah sebuah fenomena baru.
"Kami mendengar para transgender memuji keluarga Ford karena mengasihi anak perempuan mereka tanpa syarat juga pujian dari para orangtua anak transgender yang mengatakan mereka menghargai keberanian keluarga Ford untuk berbicara di hadapan khalayak," sebut keduanya.
Pasangan itu juga menuliskan pendapat sebagian orang yang menganggap mereka mendukung khayalan seorang anak, dan juga mempertanyakan apakah anak sekecil itu mampu memutuskan bahwa gendernya tidak cocok dengan jenis kelamin bawaan sejak lahir.
Di akhir suratnya, Ron dan Vanessa meminta para pembaca untuk menyimak lebih dalam keputusan mereka untuk mendukung sang anak lewat surat pribadi yang mereka kirimkan kepada teman dan kerabat.