Liputan6.com, Wamena - Bacaan ayat-ayat Alquran menggema dari Masjid Al-Qsoh siang itu. Anak-anak berusia 5-13 tahun laki dan perempuan mendaras ayat demi ayat Alquran. Bocah-bocah asli Papua itu berbaris dan berkelompok dalam masjid di kompleks Pondok Pesantren Al-Istiqomah Walesi yang didirikan sejak 1977 itu.
Rutinitas mengaji penghuni pesantren yang saat ini dihuni oleh 60-an anak selalu dilakukan usai salat Asar, Magrib, dan Subuh. Kegiatan rutin lainnya adalah melakukan olahraga futsal dan voli bersama, atau jalan santai di sekitar areal kompleks pesantren.
Kampung Walesi adalah titik pertama penyebaran Islam di wilayah pegunungan tengah Papua. Kampung Walesi terletak di pinggiran Kota Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Untuk menuju ke lokasi tersebut bisa dengan mobil atau dengan layanan ojek bertarif Rp 50-an ribu dari pusat Kota Wamena.
Baca Juga
Advertisement
Hingga saat ini, penyebaran umat Muslim di pegunungan tengah Papua juga berada di Kabupaten Yahukimo, Nduga, Yalimo. Puluhan anak yang dititipkan pada pesantren ini pun dari kampung-kampung yang terletak di Distrik Walesi, juga dari kabupaten lain.
Distrik Walesi saat ini berpenduduk 5000 jiwa lebih. Dari tujuh kampung yang ada di distrik, ada Kampung Assolipele dengan mayoritas masyarakat Muslim. Ada juga Apnes yang masyarakatnya setengah Muslim dan Katolik.
Tokoh pendiri ponpes yang juga sebagai pendiri Madrasarah Ibtidaiyah Merasugun Asso-Walesi, Tahuluk Asso, menyebutkan masyarakat setempat secara sukarela menyumbangkan tanahnya untuk pendirian madrasah atau kompleks ponpes.
Lelaki berusia 60 tahun ini mengisahkan, ajaran Islam dikenalkan ke Walesi pada 1977 oleh Merasubun Asso dan seorang pemuda, Firdaus Asso, serta dirinya sendiri.
“Dulunya, kami tak mengetahui apa itu Islam, apa itu madrasah atau pondok pesantren. Kata Islam itu seolah-olah turun dari Allah langsung. Apalagi kami tak memahami itu semua. Semua serba cepat dan tak pernah terbayangkan," kata lelaki yang juga sebagai kepala suku Walesi, ketika ditemui di dalam honainya yang juga terletak di kompleks ponpes belum lama ini.
Kala itu lokasi tanah tak menjadi halangan untuk pembangunan madrasah ataupun kompleks Muslim Papua. Sebab masyarakat sekitar juga menginginkan pendiriannya, terlebih untuk keberlangsungan anak-anak di sekolah.
“Ini semua dilakukan dengan swadaya masyarakat. Segala batu, pasir, batu tela, kayu, diambil langsung oleh masyarakat dari lokasi sekitar pemukiman warga,” kata Tahulluk.
Walesi yang Telantar
Kompleks ponpes Walesi saat ini berdiri di atas tanah seluas 3 hektare yang juga dilengkapi dengan sebuah madrasah dan gedung MTs yang sedang dalam pembangunan. Ada pula satu buah masjid yang sedang direnovasi.
Ruangan tidur anak laki-laki dan perempuan di ponpes masih terbuat dari papan dan tripleks. Begitu juga dengan ruangan aula yang biasa disulap menjadi tempat makan dan ruang pertemuan lainnya. Dua kamar mandi yang pintunya sudah usang juga melengkapi fasilitas bagi penghuninya.
Tempat tidur anak-anak putra maupun putri bertingkat. Namun, tempat tidur itu hampir tak sesuai dengan penghuni yang menempatinya. "Kadang kami harus berhimpitan untuk tidur. Banyak nyamuk dan kami hanya tidur beralaskan kasur tipis, tanpa bantal ataupun guling," kata Khodijah Asso, salah satu penghuni ponpes.
Untuk makan setiap harinya, anak-anak selalu makan mi instan dan nasi tanpa lauk. Makanan dengan menu yang sama disantap dalam satu hari tiga kali makan, yakni makan pagi, siang, dan malam.
"Jika ada donatur memberikan makanan pendamping, seperti susu dan biskuit atau makanan lain, kita baru bisa menikmatinya. Jika tidak, mereka hanya makan mi dan nasi," kata Anggita Fatimah Siregar, salah satu guru relawan yang juga pembimbing di ponpes.
Saat ini Ponpes Walesi dikelola Yayasan Pendidikan Islam (Yapis). Namun di dalam pengelolaannya, pihak pendiri ataupun masyarakat Muslim di sana tak mengetahui prosesnya.
"Sebenarnya, kami tak menginginkan ini dikelola Yapis. Lebih baik kami kelola sendiri atau pemerintah yang ambil alih," kata salah satu pemuda Walesi, Abu Hanifa Asso.
Anehnya, menurut Abu, banyak pihak yang selalu mencari dana dan mengatasnamakan Muslim Papua di Walesi. Namun, dana-dana dari proposal itu tak pernah singgah di ponpes ini. Abu pun mengibaratkan Walesi sebagai makanan enak yang diperebutkan banyak orang.
"Walesi juga makin kuat, karena masyarakat asli yang memeluk agama Islam. Berbeda dengan Tolikara atau wilayah lain di Papua tak ada masyarakat aslinya yang langsung memeluk agama Islam, sehingga justru sering terjadi perselisihan," ucap Abu.
Saat ini, menurut Abu, masih banyak perbaikan dan pembangunan ponpes dan pendidikan yang dibutuhkan bagi anak-anak Walesi. Jika memang ada bantuan untuk Walesi, Abu berharap bantuan itu langsung diberikan ke Walesi tanpa melalui pihak ketiga.
"Kami pernah dapat pembangunan masjid itu dari Bupati Jayawijaya Rp 300 juta dan Wakil Bupati Jayawijaya Rp 70 juta. Hanya sebatas itu. Akses ke pemda untuk meminta bantuan untuk pengembangan ponpes sangat sulit," keluh Abu.
Berkah Ramadan
Saat ini, untuk operasional ponpes sehari-hari tak ada donatur tetap. Makanan yang setiap hari mampir dari pada donatur adalah mi instan dan beras. Susu dan telur jarang diterimanya. Kalaupun ada, makanan telur dan susu tak setiap hari bisa disantap penghuni ponpes.
Sementara, penghuni ponpes akan mengalami peningkatan yang cukup tinggi di saat bulan suci Ramadhan, sebab masyarakat di sekitar ponpes banyak yang menitipkan anak-anaknya di pesantren itu.
"Makanan di saat Ramadan juga enak-enak. Kadang kami kebanjiran bantuan di saat Ramadan," ucap Aryati, salah satu guru agama di ponpes itu.
Kegiatan saat Ramadan di ponpes itu pun tak ada yang berubah, pembimbing ataupun ibu guru di dalam ponpes itu memberikan kelas tambahan Ramadan, mulai pukul 08.00-10.00 pagi yang berisi kegiatan mengaji atau mengkaji agama.
"Bisa lewat alat peraga, buku cerita, atau video-video yang diputar lewat laptop milik guru-guru di ponpes. Kegiatan lainnya adalah bersih-bersih dan juga menghadiri undangan dari pihak lain di Kota Wamena atau tempat lainnya," kata Anggita.
Advertisement