Raperda Kawasan Tanpa Rokok Tuai Protes

Raperda ini tak hanya mengatur kawasan tanpa rokok, namun juga melarang toko swalayan menjual rokok dan melarang perusahaan rokok beriklan.

oleh Nurmayanti diperbarui 09 Jun 2016, 16:28 WIB
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menuai kritik. Seperti yang akan diterapkan Pemerintah Daerah Tangerang Selatan.

Sebab raperda ini tak hanya mengatur kawasan tanpa rokok, namun juga melarang toko swalayan menjual rokok dan melarang perusahaan rokok beriklan.

Pengamat Hukum Margarito Kamis dan anggota DPR, Firman Subagio, berpendapat raperda ini kurang tepat.  

Margarito Kamis menilai, perda seperti itu berbenturan dengan menabrak aturan di atasnya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Dalam PP ini hanya menyebutkan pembatasan.


"Perda tidak bisa mengatur apa yang tidak ada di undang-undang atau peraturan di atasnya. Urusan rokok ini kan tidak otomatis juga semata urusan kesehatan. Aturan seperti itu jelas memukul industri hingga petani," ujar dia di Jakarta, Kamis (9/6/2016)

Ia khawatir, maraknya regulasi seperti itu, didorong kepentingan kepentingan pihak lain yang selama ini mendanai kampanye anti tembakau di Tanah Air. Daerah terkena euforia merespon kampanya anti tembakau yang didorong asing sehingga seolah-olah urusan tembakau hanya dimensi kesehatan.  Hal ini yang harus diluruskan oleh pemerintah.

Sementara Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Firman Subagyo juga sepakat jika setiap peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan aturan lebih tinggi. Apalagi, rokok atau produk tembakau adalah produk legal.

Bagaimana industri hasil tembakau mempunyai posisi strategis. Karena itu sudah seharusnya ada undang-undang khusus yang mengatur. "Tembakau lebih penting dilindungi oleh undang undang," ujar dia.

Firman mengingatkan, dalam setiap pengambilan keputusan terkait tembakau, harus ada pertimbangan rasional. Suka atau tidak, industri tembakau memberi kontribusi ekonomi besar mencapai Rp 157 triliun per tahun dari sisi cukai saja.

"Kalau itu dimatikan hanya karena desakan golongan anti tembakau jelas tidak fair. Tembakau bukan penyebab penyakit hingga menyebabkan kematian," tegas Firman.

Ia menilai, gencarnya regulasi yang memukul tembakau, semata karena kompetisi dagang di tingkat global.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya