Liputan6.com, Jakarta - DPR telah mengesahkan revisi UU Pilkada pada Kamis, 2 Juni 2016. Meski telah disahkan, masih banyak pihak yang tak puas dengan hasil revisi UU tersebut. Hal ini terkait keberadaan sejumlah pasal yang dinilai memberatkan.
Salah satunya Pasal 48 UU Pilkada. Pasal ini dinilai memberatkan dan bahkan diduga untuk menjegal calon independen.
Advertisement
Seperti dikatakan oleh Kepala Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani. Dia menduga keberadaan pasal itu dilatarbelakangi kekhawatiran partai politik yang takut perannya hilang dalam sistem demokrasi.
"Pengaturan pasangan calon jalur independen dalam UU Pilkada yang baru, tampaknya dipengaruhi oleh pandangan DPR yang melihat calon independen sebagai ancaman terhadap kelembagaan partai," ucap Sri Budi Eko Wardani kepada Liputan6.com, Jumat (10/6/2016).
Pasal 48 UU Pilkada mengatur, jika pendukung calon perseorangan tidak dapat ditemui Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam verifikasi faktual di alamatnya, pasangan calon diberi kesempatan menghadirkan mereka ke kantor PPS dalam waktu tiga hari. Terhitung sejak PPS tidak dapat menemui mereka. Ketika dalam batas waktu tersebut tidak dipenuhi, maka dukungan dicoret.
Menurut Sri Budi, kemunculan pasal ini bisa jadi karena tokoh-tokoh potensial di masyarakat seperti Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, lebih memilih jalur non-partai. Padahal partai butuh merekrut tokoh-tokoh tersebut untuk mendulang suara.
Karena itu, parpol melalui DPR mengusulkan menaikkan syarat dukungan calon independen agar setara dengan syarat calon partai.
"Tapi usulan itu tidak diterima, dan jalan tengahnya adalah mengatur verifikasi faktual dengan metode sensus atau menguji klaim dukungan pasangan calon independen secara populasi," ungkap Sri.
Untuk itu, kata Sri, calon independen harus benar-benar mempersiapkan diri agar semua syarat dalam UU Pilkada itu dipenuhi. Terlebih soal verifikasi faktual yang sangat menyulitkan itu.
"Ahok atau TemanAhok harus mempersiapkan kelengkapan administrasi syarat dukungan (KTP) agar sesuai dengan PKPU. Serta membentuk semacam koordinasi lapangan di kelurahan untuk mengorganisir pendukung menghadapi sensus (verifikasi faktual) dari PPS," tutup Sri.