Kronologi Bentrok Demo Tolak Tambang di Bengkulu

Unjuk rasa kali ini karena warga sudah beberapa kali melakukan aksi, namun tidak ada tanggapan dari Pemkab Bengkulu Tengah

oleh Yuliardi Hardjo Putro diperbarui 12 Jun 2016, 16:02 WIB
Salah seorang korban demo rusuh di Bengkulu dilarikan ke RSUD M Yunus karena mengalami luka tembak pada bagian perut korban, Sabtu (11/6/2016). (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo Putro)

Liputan6.com, Bengkulu Tengah - Ratusan warga Kecamatan Merigi Kelindang, Kabupaten Bengkulu Tengah, menggelar demonstrasi menolak aktivitas pertambangan batu bara bawah tanah atau underground, Sabtu, 11 Juni 2016. Aksi berujung ricuh itu menyebabkan empat warga mengalami luka tembak

Rusuh dipicu saat warga mencoba menerobos masuk ke kawasan pertambangan di Desa Lubuk Unen. Mereka dihadang personel Polres Bengkulu Utara -- Bengkulu Tengah merupakan kabupaten baru, kepolisian masih menginduk ke Polres Bengkulu Utara.

Empat warga yang tertembak bernama Marta Dinata (20) warga desa Kembring, Yudi (28) warga Desa Kembring, tertembak di bagian perut. Alimuan (65) warga Desa Durian Lebar, tertembak di tangan, dan Badrin (45) warga Desa Durian Lebar tertembak di bagian leher dan paha.

Salah seorang korban, Alimuan memaparkan kronologi aksi warga ini karena mereka sudah beberapa kali melakukan aksi, namun tidak ada tanggapan dari Pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah.

Alimuan yang menjabat sebagai Koordinator Forum Anak Rejang Gunung Bungkuk itu sebelumnya telah  dipanggil pihak Dinas Pertambangan dan Energi Sumber Daya Mineral. Ia di janjikan bahwa bupati akan datang dan memutuskan apakah tambang dilanjutkan atau tidak. Warga lainnya menunggu kepastian dan mulai bergerak ke lokasi aksi.

Saat warga tiba dilokasi perusahaan tambang, terlihat sudah banyak anggota polisi dan tentara yang berjaga. Aparat yang berjumlah 500 orang lebih bersenjata lengkap.

"Saya di barisan tengah dengan beberapa korban yang lainnya. Saya tidak begitu tahu apa yang terjadi didepan, tiba-tiba rusuh. Marta Dinata korban pertama yang tertembak oleh polisi yang berada di belakang Brimob. aparat yang menggunakan peluru tajam, makanya sampai menembus perut Marta Dinata,” Alimuan mengungkapkan.

Secara terpisah, Kasrawati, warga Desa Susup mengatakan, kejadian itu adalah luapan kemarahan warga atas ketidakjelasan dan ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat selama ini. Apalagi pagi itu masyarakat dijanjikan bahwa akan ada pejabat yang mau datang, namun bukannya pejabat yang datang, warga justru dihadapkan oleh banyak aparat di lokasi.

Nurdin, koordinator forum mengaku tidak mampu membendung kemarahan warga, akhirnya aksi menjadi tidak terkendali. Warga memaksa masuk ke lokasi pertambangan, namun dihadang oleh aparat.

"Aparat menembakkan gas air mata dan tembakan peluru karet dan timah panas,” ujar Kasrawati.

Tuntutan Warga

Aktivitas pertambangan batu bara yang dikelola PT Citra Buana Sentosa (CBS) itu dilakukan pada kedalaman hingga 800 meter dan mulai melebar hingga mengarah ke permukiman masyarakat di dua kecamatan, yaitu Merigi Melintang dan Merigi Sakti.

Anharman, warga Desa Susup mengatakan, demonstrasi berujung bentrok itu dilakukan karena sudah ada beberapa rumah warga yang mengalami getaran saat aktivitas tambang menggunakan alat berat di bawah tanah untuk mengambil batu bara.

"Kami khawatir jika ini diteruskan, maka desa kami akan hancur, sebab tidak ada lagi daya tahan dari bawah tanah," ujar Anharman.

Masyarakat yang melakukan aksi kata dia, menuntut agar pihak pemerintah mau mencabut izin operasional tambang dan tidak lagi mengeluarkan izin lain. Sebab bisa saja izin perusahaan yang ada sekarang jika dicabut, muncul lagi izin yang lain di lokasi yang sama.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumber Daya Mineral Kabupaten Bengkulu Tengah, Mun Sugiri menjelaskan jika izin tambang bawah tanah milik PT CBS itu resmi dan berlaku hingga 2019 mendatang.

Pihaknya tidak memiliki kewenangan mencabutnya. Sebab izin dikeluarkan oleh kementerian berdasarkan rekomendasi Pemerintah Provinsi Bengkulu. "Semua izinnya lengkap dan kami tidak bisa mencabutnya," Sugiri menegaskan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya