Liputan6.com, Jakarta - Ketika Jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Kutipan masyhur dari Seno Gumira Ajidarma itu diamalkan Rudolf Fofid, seorang pejuang kemanusiaan yang menyatukan Ambon dengan puisi.
Kota musik itu pernah didera konflik besar. Rudolf Fofid atau Opa Rudi mencoba selama belasan tahun menyatukan anak-anak korban konflik itu dengan pameran lukisan, lomba, malam puisi dan pagelaran budaya.
Advertisement
Ikhtiarnya itu berbuah hasil, selain mendewasakan generasi korban konflik. Kerja kemanusiaannya itu membuat Opa Rudi menjadi panutan dan tokoh yang meraih Maarif Awards 2016.
"Orang sudah muntah mendengar kata perdamaian, seminar, pertemuan, dan hal lainnya soal perdamaian. Tapi, semua orang akan bertemu saat pergelaran kebudayaan, generasi muda Kristen dengan Islam membaur saat berpuisi, itu intisari perdamaian," ujar Rudolf Fofid kepada Liputan6.com di sela acara Maarif Awards di Jakarta Barat, Minggu (12/6/2016).
Mantan wartawan yang kini sibuk di berbagai komunitas sastra dan kebudayaan serta komunitas kemanusiaan di Ambon itu kecewa dengan media-media Jakarta. Dalam pemberitaannya, tak hati-hati menginformasikan konflik di tanah kelahirannya.
"Mereka tak pernah ke lapangan, tak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Lalu ambil nara sumber sekunder, memutarbalikkan fakta, menambah kekeruhan, dan itu dikutip media secara massal, sementara kami yang ada di daerah konflik semakin panas, karena ulah media yang tak hati-hati dengan SARA," dia menyesalkan.
Untuk memperbaiki itu, ia turun ke lapangan, menyatukan antara generasi muda Islam dan Kristen. Dalam perjuangannya, Opa Rudi selalu menyerukan saling memaafkan. Ia tak ingin dendam di berbagai pihak diteruskan. Meski ayah dan kakak perempuannya menjadi korban dalam konflik itu.
"Kita sama-sama korban, pembunuh itu juga korban, Ambon damai adalah obat semua korban," kata Opa Rudi.
Ia lebih memilih puisi dan generasi muda sebagai benteng perlawanan terhadap konflik baru yang bisa saja bermunculan setiap waktu. Menurut dia, potensi intoleransi di mana pun di Indonesia sama, potensi konflik akan terus terjadi jika generasi mendatang tak cerdas dalam menyikapinya.
"Saat ayah dan kakak saya dibunuh, saya tidak mau mencampuradukkan begitu saja, saya tak mungkin membalasnya pada muslim yang ada di depan saya. Saya harus bisa memisahkan antara Islam dan pelaku," ujar dia mengisahkan.
Kini, Opa Rudi yang sehari-hari berpuisi berpindah dari satu komunitas ke komunitas lainnya di Ambon diundang ke Jakarta untuk menerima penghargaan. Namun penghargaan itu diharapkan tak menjadi seremonial belaka.
"Kita harus berbuat lebih, penghargaan ini menambah kerja saya, agar terus berupaya mewujudkan kedamaian. Jangan sampai saya tercabut dan menjadi selebriti karena penghargaan ini," ucap Opa Rudi.