Liputan6.com, Jakarta Dari ratusan atau ribuan bahkan jutaan tempat ziarah, hanya ada dua tempat ziarah yang paling layak dikunjungi. Pertama adalah rumah sakit. Kedua adalah kuburan.
Tentu saja ziarah yang dimaksud adalah ziarah yang memang dimaksudkan untuk memperkaya batin. Bukan ziarah berbalut kapitalisme yang isinya hanya menjual kenangan.
Baiklah, kita bedah tempat ziarah yang pertama, yaitu rumah sakit. Rumah sakit sangat ideal dijadikan tempat ziarah, tanpa perlu membedakan kelas rumah sakit atau layanan khusus penyakitnya. Boleh saja rumah sakit spesialis panu atau kadas jika memang ada.
Setiap kali ke rumah sakit, setidaknya kita mengenal dua hukum membezoek si sakit. Yang pertama adalah wajib. Boleh mengulik ayat kitab suci dan dicari pembenarannya, bahwa menjenguk orang sakit dan menghiburnya itu hukumnya wajib.
Baca Juga
Advertisement
Wajib? Ya wajib. Tapi syarat dan ketentuan berlaku. Syaratnya yakni, menjenguknya itu merupakan jengukan pertama. Jadi simpelnya, jenguklah si sakit satu kali saja. Selebihnya berlaku hukum yang berikutnya, yakni sunnah.
Di rumah sakit itu, nyaris di semua ruangan, kita akan disuguhi pemandangan elok. Si sakit yang meraung-raung menahan sakit, si sakit yang tetap tersenyum menyembunyikan sakitnya, hingga si sakit yang sudah cuek dengan penyakitnya.
Dari sisi keluarga si sakit, derajat dan kualitas sebagai manusia jelas tengah memasuki fase quality control. Keluarga itu, bisa suami, istri, ayah, ibu, anak, atau bahkan tetangga bisa sangat dramatis menunggui si sakit. Rela tidur di bawah ranjang si sakit, bercampur dengan bekas tempat muntahannya, padahal di rumah biasa tidur di springbed dengan pendingin ruangan yang mumpuni.
Disebut masuk fase quality control karena, seberapapun dahsyat dan parahnya si sakit dengan biaya seringan apapun, namun kehidupan normal harus tetap berjalan. Deterjen untuk mencuci pakaian harus tetap dibeli, perut harus tetap diisi, uang saku sekolah, gaji pembantu, bahkan sekedar berderma kepada pengemis dan peminta sumbangan pembangunan musholla harus tetap berjalan. Hanya manusia-manusia bermutu tinggi yang sanggup bekerja, cengengesan, dan hidup normal saat berduka.
Paradoksal pemandangan di rumah sakit ini semakin nyata ketika melihat ada pasien yang tidak jelas statusnya. Hanya tergolek tak berdaya dengan aneka jarum dan selang serta kabel menempel di tubuhnya. Serba tak jelas, apakah di benaknya ia masih memiliki harapan untuk sembuh atau tidak. Jangan-jangan sekedar harapan saja sudah mati, sehingga jiwanya bisa disebut mati juga.
Si pasien yang tidak jelas itu, diperburuk keluarganya yang juga sudah mulai frustasi. Mereka menunggui si sakit tanpa motivasi. Seperti sekadar mengisi kegiatan daripada nganggur.
Nah, paradoksal yang dimaksud adalah ketika kita melihat para perawat memberikan obat sambil tetap prengas-prenges. Perawat mendorong bed pasien sambil guyonan dengan temannya, menyuntik atau mengganti botol infus sambil cekikikan matanya menatap layar gadgetnya.
Pemandangan itu disempurnakan dengan hadirnya dokter yang tenang, menyentuhkan stetoskopnya ke dada si sakit, tanpa harus tahu suara apa yang ingin dia dengar.
Tapi memang harus berjalan seperti itu. Tak bisa dibayangkan andai para perawat dan dokter itu selalu larut dalam kedukaan keluarga si sakit. Berapa banyak tisu yang dibutuhkan untuk sekali visit memeriksa pasien, berapa tangki yang harus disiapkan untuk menampung air mata mereka.
Dokter dan perawat adalah kaum profesional. Yang selalu harus menunjukkan sikap "tidak apa-apa", harus mengembangkan pembawaan "aku rapopo" dalam bertugas. Fungsi dan tujuannya jelas, menularkan virus optimis dan gembira pada si sakit dan keluarganya.
Para dokter dan perawat itu harus cool saat menyampaikan hasil laboratorium bahwa di darah si sakit bermukim virus mematikan. Kemudian menawarkan obat dengan catatan harga yang aduhai. Profesionalitas itu tak mungkin dilakukan jika ia cengeng dan mudah larut emosinya.
Jadi cocok bukan kalau rumah sakit menjadi tempat ideal berziarah, sebelum kuburan?
Nah tempat kedua yang juga layak dipertimbangkan sebagai tempat ziarah adalah kuburan. Tak perlu kuburan para wali yang senantiasa ramai. Jika perlu kuburan maling korban amuk massa yang tak dikenal dan sepi.
Di tempat ini, para peziarah akan langsung berhadapan dengan misteri maha dahsyat. Para peziarah itu jelas langsung digiring pada perenungan tentang hakekat hidup. Segala derita yang sebelumnya dilihat di rumah sakit akan purna di tempat ini.
Jika kuburan atau tepatnya kematian adalah situasi purna segala masalah, maka betapa kita akan paham bahwa hidup manusia tak lebih dari sekedar intro saja.
"Ini hanya intro? Betapa ruwetnya menjalani intro saja....belum sampai ke yang lainnya," kata si pengeluh.
Maka setelah berziarah di dua tempat ideal itu, terlebih saat Ramadan seperti sekarang, mudah-mudahan bisa muncul sikap bahwa hidup hanya sekedar mampir ngakak. Apapun yang terjadi harus dilalui sambil bergembira. (*****)
Penulis :
Edhie Prayitno Ige, penulis, cerpenis, guyonis. Asli muntilan mukim di semarang Twitter : @edhiepra1
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini.
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6.