Kisah Mukena Penyelamat Cicik dari Erupsi Merapi

Namanya Sri Andriyani. Usianya sudah berkepala empat. Ia adalah salah satu dari sekian korban banjir lahar dingin

oleh Liputan6 diperbarui 20 Jun 2016, 08:15 WIB
Kisah Mukena Penolong Cicik Dari Erupsi Merapi

Liputan6.com, Jakarta Namanya Sri Andriyani. Usianya sudah berkepala empat. Ia adalah salah satu dari sekian korban banjir lahar dingin akibat erupsi Gunung Merapi enam tahun lalu. Rumah tinggalnya musnah tertimbun pasir dan bebatuan di bantara Kali Putih, Kecamatan Salam Kabupaten Magelang.

Sri Andriyani kala itu masih bekerja sebagai seorang penyiar radio. Ketika rumahnya dihantam banjir lahar, ia sendiri malah sedang sibuk memberi peringatan kepada warga di sekitar Kali Putih.

"Nggak nyangka aja. Ternyata malah saya sendiri juga jadi korban," kata Sri Andriyani, akrab disapa Cicik.

Mengetahui tak lagi punya rumah, Cicik bukannya makin rajin bekerja agar bisa membangun kembali rumahnya. Atas ijin putri tunggal dan suaminya, ia terjun menemani para tetangganya yang bernasib sama. Cicik memutuskan keluar dari stasiun radio tempatnya bekerja.

Dasarnya sepele, serajin apapun karena ia seorang karyawan, tentu pendapatannya tetap dan sudah dipatok besarannya. Ia justru melepas pendapatannya untuk bekerja sosial.

"Dengan menemani para tetangga, saya juga mendapat manfaat agar tak merasa terpuruk. Mereka juga merasa ada temannya. Jadi waktu saya lebih bermanfaat daripada sekedar cari uang," kata Cicik.

Upaya Cicik menjadi teman bagi para tetangga itu berlangsung hingga tiga tahun. Setelah dirasa nyaman, ia pun mulai mengajak para tetangga itu untuk berbuat sesuatu yang produktif.

Kisah Mukena Penolong Cicik Dari Erupsi Merapi

Tepat mulai tahun 2015, Cicik merintis usaha pembuatan mukena. Saat itu bisnis mukena dan hijab tak seperti sekarang. Masih sangat sulit, terutama ketika membuka peluang pasar.

"Modal awal Rp 15 juta. Untuk mesin jahit dan kain," kata Cicik.

Upaya Sri Andiyani atau Cicik ini ternyata bukan sekedar mencari penghasilan. Ada kesadaran transenden yang mendasari laku membuat mukena ini. Yakni keberadaan tetangga yang suaminya meninggal. Cicik ingin mengajak mereka mencapai kesadaran bahwa rejeki berupa makan sudah pasti ditanggung Allah.

Kampanye melawan rasa takut tidak bisa makan itu mulai berbuah. Usaha mukena yang digelutinya mulai mendapat tempat di toko-toko pakaian di sekitar Magelang. Untuk meningkatkan kepercayaan, maka usahanya diberi nama Rafanda Hijab & Mukena.

"Sejatinya Allah tidak akan mengingkari janjinya. Sesulit apapun, makan itu pasti disediakan. Tinggal kita mencari cara untuk mengambilnya. Memberi alamat yang jelas, karena rejeki tak pernah salah alamat," kata Cicik.

Untuk memantapkan tetangga yang membantunya, ia sering mengajak mereka memandang keberadaan burung prenjak ataupun ciblek yang masih ada. Dari sana banyak ilmu hidup yang ingin ia sampaikan.

"Prenjak tak pernah menyimpan ulat yang didapatnya untuk dimakan besok. Jadi jangan khawatir. Ragu tidak bisa makan, itu sudah menghina Allah. Alhamdulillah mukena saya mendapat tempat," kata Cicik.

Kini saat ramadan, Cicik dan dua tetangga yang membantunya, sering harus begadang sampai pagi. Mereka menyelesaikan pesanan. Penyelesian itupun tak dimotivasikan untuk mendapat uang, namun sebagai pelunasan tanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan Allah.

Penulis:
Edhie Prayitno Ige penulis, cerpenis, guyonis
Asli muntilan mukim di semarang
Twitter @edhiepra1

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya