Bubur Blendrang, Menu Buka Puasa Warisan Pembantu Diponegoro?

Tak seperti bubur biasa, bubur Blendrang menggunakan bahan tepung gandum yang dicampur beragam tulang.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 20 Jun 2016, 17:01 WIB
Tak seperti bubur biasa, bubur Blendrang menggunakan bahan tepung gandung yang dicampur beragam tulang. (Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Liputan6.com, Muntilan - Bubur asal Gunungpring, Muntilan, Jawa Tengah, ini dinamai blendrang. Cita rasanya pedas gurih. Bubur ini hanya bisa ditemui saat Ramadan.

Bahan utama bubur blendrang adalah tepung gandum. Agar lebih gurih, bahan itu dicampur dengan daging dan tulang saat dimasak. Tulang yang digunakan bisa ayam, kambing, dan sapi.

Menurut Yuni, salah satu pedagang blendrang di Nengahan, Santren Gunung Pring, sensasi pedas gurih itu yang menjadi daya pikat blendrang. Dalam sehari, Yuni mengaku bisa menghabiskan 2 sampai 3 kilogram tepung gandum.

"Nggak tahu bagaimana sejarahnya, tapi saya belajar dari ibu saya, ibu dari ibunya, begitu terus turun-temurun," kata Yuni di Muntilan, Jateng, Minggu 19 Juni 2016.

Tak hanya Yuni, Sriningsih juga setia berjualan blendrang meski hanya di Bulan Ramadan. Peracik dari Kampung Ngasem Bentaro itu mengaku sengaja mempertahankan tradisi agar kehadiran bubur blendrang tetap dinanti-nanti.

"Dinanti umat Muslim seperti menanti datangnya Ramadan," tutur Sri.

Sri menuturkan, proses memasak bubur ini. Pemasakan diawali dengan merebus tulang-tulang yang masih ada sisa daging menempel. Proses selanjutnya menyiapkan bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, cabai, jahe, kencur, dan garam.

"Bumbu ini dihaluskan lalu dimasukkan ke dalam air mendidih. Kemudian, adonan gandum dan tulang-tulang kambing, sapi atau ayam dimasukkan ke dalamnya," ujar Sri.

Yuni menambahkan, teknik memasak bubur antara penjual satu dan lainnya pada dasarnya tidak terlalu berbeda. Namun, hasil racikan antar-pedagang tidak selalu sama. Menurut Yuni, hal itu disebabkan perbedaan waktu mencampur.

"Kalau dalam bahasa sekarang, timing mencampur rebusan tulang dengan bumbu dan tepung itu menentukan. Bahkan, besar kecilnya api juga menentukan rasa," kata Yuni.


Pasukan Diponegoro

Penikmat Bubur Blendrang mulai dari anak-anak hingga orang dewasa mengantri setiap Bulan Ramadan. (Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Sesaat sebelum diangkat, semua peracik blendrang pasti melakukan hal yang sama, mengaduk bubur agak lama agar bumbu meresap. Sensasi utama ketika menyantap bubur ini adalah saat mencecap tulang-tulang yang ada, menyedot sumsum dan menguliti daging yang masih menempel di tulang.

Belakangan, bubur blendrang memiliki varian baru. Yaitu, munculnya blendrang setan. Dinamai demikian karena rasanya yang sangat pedas.

"Warungnya ada di Gatak Karaharjan. Itu representasi warung blendrang kekinian. Sampeyan perlu mencoba dan membandingkan," kata Fadjar Sodiq, salah satu penggemar blendrang, warga Ngasem kepada Liputan6.com.

Masyarakat setempat meyakini kehadiran blendrang lekat dengan kisah Pangeran Diponegoro. Menurut Agus Sutijanto, seorang aktivis seni dan peminat kebudayaan, bubur tersebut merupakan makanan penghangat badan saat berbuka puasa bagi pasukan Diponegoro.

Warga Muntilan itu merunut cerita tersebut dari keberadaan pondok pesantren yang sudah sangat tua di Gunung Pring, yaitu Pesantren Watu Congol. Pesantren salaf itu didirikan oleh Kyai Narowi Dalhar.

Mbah Dalhar, begitu ia biasa dipanggil, adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai seorang teladan masyarakat. Ia dilahirkan dalam lingkungan santri yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf.

Kyai Abdurrauf ini adalah salah satu panglima perang pasukan Diponegoro. Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.

Hingga kini, bubur blendrang masih setia dibuat di sekitar pondok pesantren.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya