Liputan6.com, Cirebon - Dalam lintasan bulan puasa, umat Islam meyakini ada satu momen yang diyakini berlimpah berkah yakni momen malam Lailatur Qadar. Kaum muslimin pun memburu Lailatul Qadar di waktu yang sudah dijanjikan yakni malam-malam terakhir Ramadan.
Masjid pun menjadi tempat memburu malam istimewa itu. Di masjid sepanjang malam mereka beribadah, zikir, membaca Alquran.
Di daerah Cirebon, salah satu masjid yang jadi tempat favorit adalah Masjid Kramat Megu Gede di Kawasan Plered, Kabupaten Cirebon. Masjid dengan bangunan tua dan bersejarah ini kian hidup di malam-malam terakhir.
"Banyak yang datang di malam-malam terakhir Ramadan, mencari Lailatul Qadar. Berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT. Bukan hanya dari warga sini (Cirebon) tetapi juga dari luar Jawa," ujar Juru Kunci Masjid Kramat Megu Gede Cirebon, Abah Misko, Minggu 19 Juni 2016.
Baca Juga
Advertisement
Ia mengatakan, pada menjelang malam Lailatul Qodar, masjid ini senantiasa ramai dikunjungi jemaah umat Muslim baik dari dalam maupun luar Cirebon. Bahkan, acara besar di Masjid Kramat Megu pada sepekan sesudah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha pun selalu ramai.
Selain beribadah, jemaah yang datang ke masjid biasanya datang untuk mengambil air yang ada di dalam area masjid tersebut. "Air biasanya diambil dari sumur keramat," kata Abah Misko.
Ia menjelaskan Masjid Kramat Megu dibangun tahun 900. Konon masjid ini hidup pada masa Pangeran Cakrabuana. Masjid ini sudah mengalami empat kali renovasi termasuk penambahan bagian masjid tetapi tidak menghilangkan ciri khas dari masjid sejak pertama kali dibangun.
"Sepengetahuan bapak, tahun 1982 direnovasi. Kemudian pada tahun 1986, 1989, dan terakhir 2015 mengalami penambahan bagian termasuk perluasan kawasan masjid ini. Hanya diubah bagian momolo masjid yang sebelumnya sangat pendek dan sekarang berada di atas masjid," ucap Abah.
Bagian asli Masjid Megu Gede adalah bangunan utama yang berada di depan masjid, sumur keramat, makam dan Bale Mangu. Sementara tembok yang mengelilingi masjid ini adalah tembok yang dibuat setelah masjid ini diperluas, hanya saja material bata yang di gunakan adalah bata asli yang dahulunya adalah bagian pagar awal masjid ini.
Bagian atau benda lain peninggalan asli dari masjid ini adalah mimbar masjid dan bedugnya. Mimbar masjid ini sendiri sangat berbeda dengan mimbar masjid-masjid lain pada umumnya, yang mana bukan berupa kotak persegi melainkan seperti sebuah singgasana.
Masjid dikelilingi tembok dengan tinggi sekitar 2 meter. Pintu gerbangnya sangat rendah sehingga orang masuk ke area masjid tersebut harus membungkukkan badan.
"Pintu gerbang yang rendah ini menggambarkan bahwa kita memberi penghormatan atau menjaga sopan santun saat memasuki dan berada dalam Masjid," jelas dia.
Sejarah Masjid Megu Gede
Abah Misko menceritakan pendiri masjid Kramat Megu ialah Ki Buyut Megu. Dia adalah seorang tokoh penyebar agama Islam di desa Megu dan sekitarnya. Di area masjid terdapat tempat keramat lainnya, seperti sumur keramat terletak di bagian pojok kanan yang pada awalnya ada di luar masjid, setelah mengalami perluasan area masjid kini sumur tersebut berada di teras masjid.
Air sumur tersebut, menurut dia, sampai saat ini masih diyakini dapat menyembuhkan segala macam penyakit atau apapun. Sumur ini berada di bagian pojok kanan masjid, sumur yang awal mulanya berada di luar masjid ini sekarang berada di bagian dalam masjid setelah Masjid Megu Gede ini mengalami perbaikan dan penambahan bangunan.
"Tetapi tidak melenceng dari ajaran agama, hanya Allah yang dapat menyembuhkannya, sumur tersebut hanya sebagai salah satu tempat petilasan," ucap Abah.
Sementara, pada halaman masjid terdapat semacam pendopo kecil yang disebut dengan bale mangu. Bale mangu ini digunakan untuk menaruh sedekah nazar atau janji. Biasanya setiap hari Jumat ada warga sekitar yang menaruh sedekahnya di bale mangu ini. Pendopo kecil ini juga biasa digunakan oleh masyarakat untuk diskusi dan bertukar pikiran.
Selain sumur keramat, di tengah masjid terdapat tiga makam, yaitu makam Ki Buyut Megu, Nyai Megu (istri dari Ki Buyut Megu), dan Pangeran Arya Atas Angin (panglima dari Ki Buyut Gede). Makam tersebut yang dikelilingi oleh tembok rendah batu bata bercat merah bergaya khas Majapahitan.
"Peninggalan atau petilasan ini sudah ada di sini sejak dahulu selain dari Sumur Keramat dan bale mangu yang berada di depan sana," kata Abah Misko yang sudah 20 tahun menjadi kuncen ini.
Advertisement