Liputan6.com, Jakarta - Hutan merupakan paru-paru dunia. Ia memiliki peran penting menjaga keseimbangan alam dan kehidupan makhluk di dalamnya. Namun keberadaannya mulai tergusur bangunan-bangunan pabrik dan gedung kota. Udara mulai terasa sesak karena polusi.
Tapi, di balik sesaknya himpitan gedung bertingkat, bisingnya suara knalpot, dan pekatnya debu polusi udara akibat kendaraan, ternyata ada sebuah keteduhan di salah satu sudut Ibu Kota. Tempat itu memiliki nama Hutan Kota Sangga Buana.
Seperti mendapatkan paru-paru baru ketika memasuki kawasan hutan kota yang ada di bantaran Sungai Pesanggrahan, Karang Tengah, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan itu. Udara segar, angin sepoi-sepoi, suara gemericik air, dan kicauan beragam jenis burung dapat kita temui di lahan hijau seluas 120 hektare ini.
"Ini hutan kota yang ditangani kelompok tani (Sangga Buana), bukan pemda (pemerintah daerah). Cikal bakal hutan kota, ya di sini," ujar pendiri Kelompok Tani Sangga Buana, H Chaerudin saat berbincang dengan Liputan6.com di lokasi, Jakarta Selatan, Senin 20 Juni 2016.
Sekitar 30 tahun lalu, tanah yang berada di tiga kota, yakni Jakarta Selatan, Depok, dan Tangerang Selatan ini sangat memprihatinkan. Sampah-sampah menggunung di tepian Kali Pesanggrahan. Bahkan sungai yang merupakan salah satu sumber kehidupan, memiliki bau busuk dan berwarna kehitaman.
Chaerudin lalu tergerak untuk mengubah wajah bantaran Kali Pesanggrahan. Bersama beberapa petani lainnya, ia kemudian membangun sungai dan lahan di sekelilingnya yang sempat dikuasai pihak-pihak yang tak bertanggungjawab.
"Ini tanah negara yang hilang dikuasai sama pihak tertentu, enggak usah disebutin, sekarang dikembalikan ke negara. Cuma manajemennya, pengawasannya tetap di tangan kelompok tani, yang mengkoordinir, menangani, mengolah, dan sebagainya, tidak dibiayai pemda," tutur pria yang akrab disapa Babeh Idin.
Hutan Kota Sangga Buana kini memiliki banyak fungsi. Selain menjadi tempat konservasi dan edukasi, hutan Sangga Buana juga bisa menjadi lokasi rekreasi yang mengasyikkan sembari meneduhkan pikiran dari hiruk pikuk dan padatnya aktivitas Ibu Kota.
Begitu memasuki kawasan hutan ini, kita akan dihadapkan dengan hamparan rerumputan hijau yang dikelilingi berbagai jenis pepohonan. Di tengah tanah lapang hijau ini, terdapat simbol bola dunia berwarna biru yang ditopang dan dikelilingi beberapa tiang kayu. Di bawahnya terdapat tulisan 'Hutan Kota Pesanggrahan, Sangga Buana Karang Tengah, Jakarta Selatan'.
"Filosofinya Sangga Buana. Sangga itu tiang, Buana itu bumi, kehidupan alam semesta. Artinya, kelestarian lingkungan itu tiang dari kehidupan," papar pria berusia 60 tahun itu.
Di lokasi itu, kita akan menjumpai beberapa bangunan rumah tradisional ala Betawi. Bangunan adat yang berada di antara rerimbunan pohon bambu itu berfungsi sebagai perpustakaan dan musala. Di sebelah kanan pintu masuk, terdapat lapangan sepak bola yang cukup luas.
Memang udara segar langsung bisa kita rasakan begitu masuk kawasan hutan Sangga Buana. Namun, disayangkan jika menikmati hutan kota ini hanya sampai di pelataran hijau. Apalagi pengunjung yang datang tidak dipungut biaya. Lahan parkir yang luas membuat pengunjung bisa menikmati hutan kota dengan leluasa.
Swadaya Kelola Sampah
Banyak hal yang akan kita temukan di dalamnya. Terdapat joging track yang terbuat dari paving block untuk menyusuri lokasi-lokasi yang ada di hutan ini. Berjalan ke kiri dari pintu masuk, kita akan menemukan lokasi pemancingan. Warga bisa bersantai di sana, sambil memancing ikan.
Perjalanan bisa dilanjutkan dengan menyusuri Sungai Pesanggrahan sepanjang 38 kilometer. Meski warnanya agak kecokelatan karena tanah, namun kita tidak akan menemukan sampah mengambang di sungai itu. Baunya pun tetap segar.
Sepanjang perjalanan, kita bisa menemui berbagai jenis pohon yang sudah mulai langka di Jakarta. Juga terdapat beberapa spesies hewan liar dan hewan ternak di sini, mulai dari berbagai jenis ikan, burung, biawak, kelinci, kambing, hingga kuda. Beberapa di antaranya sengaja dirawat dan dikembangbiakkan.
Selain lahan pertanian, hutan yang berada di bantaran Sungai Pesanggrahan ini juga memiliki tempat untuk menanam tanaman obat dan dan kebun organik. Yang tak kalah menarik, hutan ini juga memiliki tempat pengolahan sampah yang dioperasikan sendiri oleh Kelompok Tani Sangga Buana.
"Sampai sekarang masih bersihkan sampah di sungai. Yang dulunya sampah-sampah berceceran di pinggir kali, sekarang dikumpulin jadi satu di pengolahan sampah," ucap Babeh Idin.
Tak tanggung-tanggung, dalam sehari kelompok tani ini bisa mengumpulkan sampah mencapai 15 truk. Mereka kemudian memilah sampah berdasarkan golongannya kemudian diolah hingga tak tersisa. Alat yang dimiliki memiliki sistem waster atau sistem pembakaran dengan suhu tinggi yang diharapkan dapat membakar habis sampah.
"Jadi lo bayangin aja sehari 15 truk sampah yang diblokir. Kalau enggak gue bendung itu sampah, mungkin pesawat (di bandara) Soekarno-Hatta udah hanyut itu ke Pulau Seribu. Makanya warga jangan buang (sampah) di kali," tegas bapak tiga anak ini.
Babeh Idin rupanya tak ingin harmoni alam hanya bisa dirasakan di masanya. Pria bertubuh tambun itu pun terus memperluas jejaringnya dan melakukan kaderisasi di kelompoknya.
Hingga saat ini, sebanyak sekitar seribu orang telah menjadi anggota jejaring Kelompok Tani Sangga Buana yang tersebar di Indonesia dan beberapa negara sahabat. Beberapa mahasiswa juga aktif dalam kegiatan rutin kelompok tani atau hanya sekedar melakukan penelitian.
Dia ingin agar keindahan alam ini bisa terus dilestarikan dan dirasakan manfaatnya oleh generasi-generasi mendatang. "Karena alam ini bukan warisan, tetapi titipan anak cucu kita," ucap Babeh Idin memungkasi.
Advertisement