Debat 2 Profesor soal Hari Lahir Jakarta

Hussein Djajadiningrat menyatakan Jakarta berarti volbracthe zege atau kemenangan yang selesai.

oleh Rochmanuddin diperbarui 22 Jun 2016, 04:21 WIB
Profesor Hussein menyatakan, Jakarta berarti volbracthe zege atau kemenangan yang selesai.

Liputan6.com, Jakarta - Hari ini Jakarta kembali berulang tahun. Pada 2016, usianya 489 tahun. Namun, penetapan 22 Juni sebagai hari jadi Jakarta pernah menjadi bahan perdebatan dua profesor.

Adalah almarhum Profesor Hussein Djajadiningrat yang pertama kali menetapkan 1527 sebagai tahun kelahiran Jakarta. Hal itu tertuang dalam disertasi Hussein yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, yang dipertahankan pada 1913 di Universitas Leiden, Belanda.

Namun, mengutip tulisan sejarawan dan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho Notosusanto, dalam Intisari edisi Juni 2001, yang menentukan 22 Juni sebagai hari lahir Jakarta adalah guru besar sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Sukanto.

"Dalam disertasinya, Hussein menyatakan Jakarta berarti volbracthe zege atau 'kemenangan yang selesai'. Nama itu diberikan kepada kota yang semula bernama Sunda Kelapa oleh Fatahillah atau Faletehan, setelah direbut dari Kerajaan Pajajaran," tulis Nugroho.

Pajajaran adalah kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa waktu itu, sementara Fatahillah adalah ipar Sultan Demak yang memimpin tentara ekspedisi ke Jawa Barat, untuk mengislamkan daerah itu.

Nugroho menyatakan, pada 1954 Sukanto menulis risalah berjudul Dari Djakarta ke Djajakarta. Dia mencoba melengkapi tahun kelahiran Jayakarta dengan tanggal dan bulan. Penelitian ini merupakan tugas dari Wali Kota Jakarta saat itu, Sudiro.

"Jauhi penyakit Hollands denken,” kata Sudiro ketika menugaskan Sukanto untuk mencari hari lahir Jakarta. Hollands denken secara sederhana bisa dimaknai sebagai cara pandang yang berorientasi kolonial.

Bertolak dari teori Hussein, Sukanto memperkirakan pertempuran antara Fatahillah melawan pasukan yang dipimpin utusan Portugis, Fransisco de Sa, terjadi pertengahan Maret 1527. Sehingga Sukanto memastikan pemberian nama Jayakarta dilakukan setelah Maret 1527.

"Bahan-bahan sejarah yang 'kuat' tidak terdapat untuk menentukan tanggal dan bulan yang pasti pada pemberian nama itu. Karena itu, Profesor Sukanto menempuh cara lain, yaitu cara dugaan dengan mendasarkan pada suatu pra-anggapan, yakni mengenai kepribadian dan kepemimpinan Fatahillah," kata Nugroho.

Nugroho menyebutkan, Sukanto berkeyakinan Fatahillah yang notebene beristrikan seorang putri Demak dan tentaranya kebanyakan orang Jawa, sudah tentu memperhatikan adat istiadat Jawa.

"Sudah tentu ia memperhatikan juga adat-istiadat itu. Pada umumnya, adat istiadat orang Jawa dan Sunda penduduk asli Sunda Kelapa tidak berbeda. Perasaan rakyat Jawa dan Sunda tentang penghidupan kebanyakan adalah sama," tulis Nugroho mengutip pernyataan Sukanto.

Penanggalan Islam yang baru saja muncul di Jawa pada saat itu belum meresap dalam hati sanubari penduduk Sunda Kelapa. Karena itu, agar tidak menyinggung perasaan rakyat yang sebagian besar belum masuk Islam, penanggalan yang dibuat Sultan Agung dari Mataram untuk seluruh wilayah Mataram pada 1633 (penanggalan Jawa-Muslim) tidak cocok dengan perasaan rakyat.

Sehingga pada 1855, penanggalan rakyat sebelumnya, Pranatamangsa atau penanggalan Hindu-Jawa, yang ada hubungannya dengan pertanian, digunakan kembali.

"Bila kita mengingat bahwa pada masa itu berbagai pekerjaan dilakukan dan putusan-putusan diambil dengan pertimbangan masak-masak, saya kira nama Jayakarta itu diberikan beberapa bulan setelah Maret 1527," tulis Sukanto.

"Mengingat pula ada yang diuraikan di atas itu, yakni mangsa kesatu jatuh pada bulan Juni (bulan panen atau setelah panen), kita kira kemungkinan tidak sedikit jika nama Jayakarta diberikan pada tanggal satu, mangsa kesatu, yaitu pada bulan Juni, tanggal 22 tahun 1527. Harinya yang pasti saya tidak dapat menemukannya."


Sejarah Islam sebagai Inspirasi?

Teori Sukanto kemudian diterima Pemerintah Daerah Jakarta Raya, sehingga secara resmi ditetapkan 22 Juni 1527 sebagai hari lahir Jakarta.

Namun, dalam bidang ilmiah, diskusi berjalan terus. Hussein Djajadiningrat yang terkenal sebagai sarjana Islamologi bertaraf internasional tidak menerima teori Sukanto.

Hussein justru bertolak dari pra-anggapan Fatahillah seorang ulama besar yang sedang menyebarkan Islam. Sehingga dia akan memakai setiap kesempatan untuk mengajukan segala sesuatu yang berjiwa dan terkait Islam. Dan prajurit di bawahnya tentara ekspedisi orang-orang pilihan yang terkenal semangat keislamannya.

Karena itu, Hussein berpendapat, Fatahillah justru akan memakai hari raya Islam sebagai dasar bagi hari lahirnya Jayakarta. Bukan hari raya adat. Bahkan nama Jayakarta sendiri hasil inspirasi sejarah Islam.

"Kiranya Fatahillah teringat peristiwa pembebasan Mekah oleh Nabi Muhammad dari tangan suku Quraisy. Pada masa itu Allah SWT menyampaikan firman kepada Nabi, "Inna fatahna laka fathan mubinan (sesungguhnya telah aku berikan kepadamu suatu kemenangan yang jelas)," sebut Hussein.

"Fathan mubinan artinya bersamaan dengan Jayakarta. Adapun hari raya Islam yang terdekat, menurut Profesor Hussein, adalah Maulid Nabi, 12 Rabiul Awwal, yang jatuh pada 1 Juni 1527," tutur Hussein.

Sukanto dan Hussein adalah guru Nugroho Notosusanto di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Namun, Nugroho menilai kedua teori sang guru besar tidak begitu kuat karena tidak dilandaskan fakta. Sifatnya dugaan belaka.

Namun, agak sulit bagi seorang mahasiswa untuk menyatakan penolakan itu kepada guru besarnya. Apalagi jika guru besarnya itu akan menguji Nugroho. Bahkan, pada saat ujian, Profesor Sukanto sebagai ketua panitia dan hal yang dia khawatirkan pun terjadi.

Dalam ujian itu, Sukanto menanyakan kepada Nugroho perihal dua teori tentang tanggal lahir Jayakarta, mana yang menurut dia benar. Nugroho memberanikan diri menjawab bahwa kedua teori tidak kuat, sehingga dia sendiri belum dapat menerima sebagai fakta sejarah.

"Ketika itu, keringat dingin saya sudah mulai bercampur dengan keringat panas. Namun, syukurlah Profesor Sukanto dapat menerima jawaban saya itu, sehingga ujian berakhir dengan selamat," tulis Nugroho.

Sementara, sejarawan JJ Rizal berpendapat tanggal dan bulan ulang tahun DKI Jakarta yang ditemukan Sukanto dan Hussein keliru.

"Adalah benar bahwa tanggal dan bulan ulang tahun yang ditemukan oleh Prof. Dr. Sukanto itu keliru serta dikritik oleh Prof. Dr. Hussein Djajadiningrat. Sehingga terjadi polemik hebat, meskipun sayangnya kedua pendapat mereka juga kacau," kata Rizal kepada Liputan6.com, Selasa, 21 Juni 2016.

Tetapi, menurut Rizal, seperti kata Adof Heuken dalam Historical Sites of Jakarta, bagaimana pun Sudiro (Gubernur DKI Jakarta 1953–1960) sebagai pemimpin Jakarta sudah menang.

"Sebab akhirnya Sudiro mendapatkan hari ulang tahun pesanannya, yang jauh dari penyakit Hollands denken. Otomatis ia punya legitimasi historis mendesak Sukarno segera meresmikan Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia," Rizal memungkasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya