Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pengamat dan praktisi kebijakan publik meminta pemerintah untuk mengutamakan kepentingan konsumen dalam menetapkan penurunan tarif layanan interkoneksi.
Penurunan tarif interkoneksi yang tepat dapat menekan biaya telekomunikasi dan mencegah praktik monopoli, terutama di luar Pulau Jawa.
Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio menilai penurunan tarif interkoneksi mengutamakan kepentingan publik. Biaya yang mahal dari layanan interkoneksi tak seharusnya dibebankan kepada konsumen.
Menurutnya, saat pemerintah menetapkan tarif interkoneksi pada 2007 lalu, ia telah mengingatkan pemerintah adanya kemungkinan dominasi operator, khususnya di luar Jawa.
Baca Juga
Advertisement
"Dari dulu saya sudah ingatkan kemungkinan adanya dominasi operator, tapi pemerintah tak kunjung ada aksi konkret," kata Agus, Rabu (22/6/2016) kepada tim Liputan6.com.
Polemik tarif interkoneksi terjadi karena adanya dugaan praktik monopoli yang dilakukan salah satu operator di Indonesia. Operator tersebut juga mematok tarif tinggi kepada pelanggan di luar Jawa.
Untuk itu, Agus meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk bertindak. Pasalnya, para konsumen tersebut tak memiliki pilihan selain menggunakan jasa operator bertarif mahal. Apabila tarif interkoneksi turun lebih dari 30 persen, persaingan usaha akan lebih sehat.
Skema Tarif Interkoneksi
Dimintai tanggapannya soal skema penurunan tarif interkoneksi, Ketua Pelaksana Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengusulkan dua skema.
Skema pertama, business-to-business yang dapat menguntungkan operator besar. "Itu akan menjadikan tarif interkoneksi menjadi barrier bagi operator kecil," ujarnya.
Yang kedua adalah skema berbasis biaya, yang mana pemerintah menentukan formula tarif yang tepat. Dengan begitu, tidak akan ada selisih harga yang terlampau tinggi bagi konsumen yang ingin brekomunikasi ke operator berbeda.
"(Skema) ini akan menguntungkan operator kecil," kata Tulus.
Menurutnya, secara logika tarif telekomunikasi akan turun seiring dengan menurunnya tarif interkoneksi. Namun, perlu diperhatikan bagaimana operator besar membangun jaringan di pelosok. Telkomsel misalnya, yang membangun jaringan di luar Jawa bersama dengan Telkom.
Artinya, kualitas berbanding lurus dengan harga. Ia meminta tarif interkoneksi ini dilihat secara menyeluruh. Sementara operator kecil yang tidak mampu membangun jaringan di luar Jawa, harus menerima kenyataan.
"Di sisi lain, jaringan operator besar akan terbebani trafik operator lain yang tidak membangun jaringan," imbuhnya.
Singkat kata, ia meminta pada pemerintah untuk memberi hak khusus bagi operator yang membangun infrastruktur di daerah terpencil. Pembangunan yang tidak menguntungkan secara ekonomi harus diberi hak eksklusif dan tak bertentangan dengan kebijakan kompetisi.
Tulus menitikberatkan pada wilayah jangkauan telekomunikasi di seluruh daerah Indonesia. "Jangan sampai kota besar kebagian tarif murah, tetapi di daerah pelosok (jaringan) blank spot." Tutupnya.
(Ily/Cas)