Liputan6.com, Urumqi - Fatma tengah menggoreng roti khas Uighur di kedai pusat jajanan Hui, 20 kilometer dari pusat kota Urumqi, Xinjiang. Sesekali ia melayani pelanggan dan mengatur dagangannya.
Wajahnya memerah karena panas wajan, namun yang menarik, parasnya seperti etnis Han, Tiongkok.
Advertisement
"Dia etnis Hui, muslim China, salah satu minoritas yang dilindungi China," ujar penerjemah yang mendampingi Liputan6.com selama di Urumqi, Xinjiang.
Ada dua etnis minoritas yang memeluk Islam sebagai agama mereka di Xiniang. Uighur dan Hui.
Dalam sejarahnya, Uighur adalah penduduk asli Tarim basin. Hingga pada tahun 1760, saat Dinasti Manch,u Qing menguasai seluruh China, area tersebut dinamakan Xinjiang. Populasi Uighur mencapai 8 juta di Pemerintah Provinsi Otonomi Uighur Xinjiang.
Sementara itu, etnis Hui yang jumlahnya mencapai 11 juta, bisa ditemukan di seluruh China. Meski demikian, kebanyakan dari mereka berada dari Daerah Otonomi Ningxia Hui, 2.110 kilometer dari Xinjiang.
Kedatangan mereka ke Xinjiang tak lepas dari sejarah
Oleh sebab itu, pada tahun 1990-an banyak konflik antara Uighur, Hui dan Han. Sebagian etnis Uighur merasa mereka diperlakukan seperti warga kelas dua karena tak bisa berbahasa Mandarin. Sementara Hui yang menguasai bahasa nasional Tiongkok itu bisa berbaur dengan Han.
Kebudayaan mereka pun adalah hasil asimilasi dengan etnis Han. Hal itu terlihat dari bentuk masjidnya yang merupakan bangunan pagoda yang dihiasi ayat-ayat suci di dindingnya.
Yang menandai itu adalah masjid Hui, di puncak pagoda terdapat lambang bulan sabit.
"Tapi itu dulu, banyak etnis Uighur merasa pemerintah memperlakukan antara kami dan Hui berbeda. Saya kenal dengan tetangga Uighur yang merasa diperlakukan tidak adil, hanya karena banyak di antara mereka tak bisa berbahasa Mandarin, sehingga tak bisa mendapat pekerjaan yang baik," kata Fatma kepada Liputan6.com.
"Berbeda dengan Hui yang bisa berbahasa Mandarin sehingga memudahkan mereka asimiliasi dengan Han mendapat pekerjaan lebih baik di pemerintah," lanjut perempuan berusia 64 tahun itu.
Namun, Fatma menjelaskan segalanya berubah semenjak pemerintah pusat dan Otonomi Daerah Uighur Xinjiang memberlakukan program bilingual di sekolah-sekolah dasar hingga menengah atas.
"Sekarang berbeda, mungkin 15 atau 12 tahun lalu pemerintah memulai program bilingual di sekolah. Anak-anak Uighur kini banyak yang berbahasa Mandarin demikian etnis lain mengerti bahasa mereka. Etnis Uighur pun sekarang banyak yang bekerja di pemerintahan," ujar Fatma yang beretnis Hui.
Hal yang sama dibenarkan oleh Cheng seorang etnis Hui yang juga bekerja di toko roti yang sama dengan Fatma. Cheng mengaku ia berteman dekat dengan banyak para Uighur. Ia sempat merasa dahulu etnisnya diperlakukan sedikit istimewa oleh pemerintah.
"Kami jujur sempat merasa berbeda hanya karena masalah bahasa. Tapi itu dulu, sekarang semua sama saja. Bahkan saya pikir, lebih banyak Uighur bekerja di kantor pemerintahan dibanding Hui," ucap Cheng yang berusia 58 tahun itu.
Pusat jajanan Hui itu dipenuhi berbagai toko dan restoran. Ada yang menjual roti khas Uighur seperti roti labu yang dibentuk kepang, nan, dan pastry isi daging. Deretan rumah makan menyediakan panganan dan kudapan khas Hui dan olahan pangan campuran Tiongkok dan Uighur.
Banyak pengunjung datang ke kawasan itu. Menikmati sajian lagu dan tarian khas etnis Hui. Baju penari memakai celana panjang serta topi mirip peci. Beberapa pengunjung tak sedikit yang etnis Uighur dan etnis minoritas lainnya.
"Kami sekeluarga biasa menghabiskan sore hari di sini, rumah kami tak jauh dari taman ini," kata Rafiq, seorang etnis Uighur yang datang bersama istri dan anaknya yang masih berusia 3 tahun.
"Semua biasa saja, bebas berkunjung mau ke daerah tempat Uighur, tempat Hui, Rusia-Xinjiang, Kazak. Sama saja. Kami semua masih di Xinjiang, China," ucapnya dalam bahasa Mandarin.