Liputan6.com, London - Pemungutan suara yang digelar di Inggris akhirnya sampai pada keputusan akhir, negara itu akhirnya keluar dari Uni Eropa. Sejak awal isu Brexit -- British Exit -- bergulir, berbagai pihak telah mengingatkan efek domino yang akan muncul, salah satunya adalah instabilitas ekonomi dan keamanan kawasan.
Ternyata efek domino itu dapat dirasakan langsung. Pada sejumlah negara yang tergabung di UE muncul tuntutan serupa, yakni bercerai dari organisasi yang didirikan atas Perjanjian Maastricht tersebut.
Seperti dilansir Russian Today, Jumat (24/6/16) sebuah survei terbaru menunjukkan 40 persen warga Austria menginginkan hengkang dari Uni Eropa. Sementara survei lainnya yang dilakukan Peter Hajek Opinion Strategies menyebutkan terdapat 38 persen warga yang mendukung Auxit --Austrian Exit-- terjadi.
Sekitar 700 orang yang menginginkan referendum di Austria ini diketahui merupakan pendukung sayap kanan Inggris, dan Partai UE-skeptic Freedom Party.
"Kita butuh sebuah referendum yang sama dengan yang digelar di Inggris, jadi rakyat Austria bisa memutuskan," ujar Pemimpin Partai Austria's EU Exit, Robert Marschall kepada VOA seperti dikutip Russian Today.
Sama seperti yang terjadi di Inggris pada awalnya, jarak antara mereka yang mendukung dan menolak Auxit -- Austria Exit -- tidak terlalu jauh. Sekitar 53 persen dilaporkan masih ingin Austria berada di bawah UE.
Pada 2015 lalu, terdapat sekitar 260 ribu rakyat Austria yang menandatangani petisi untuk keluar dari UE. Aksi itu memicu debat referendum di parlemen.
Jajak pendapat yang belum lama ini dilakukan di Italia, Prancis, Jerman, Swedia, Belanda, Ceko, dan Hungaria menunjukkan bahwa negara-negara tersebut berpotensi mengikuti jejak Inggris, menggelar jajak pendapat untuk memutuskan masa depan keanggotan mereka di UE.
Memicu Referendum Lain
Advertisement
Kasus Brexit dinilai sejumlah politisi yang berseberangan dengan UE telah memantik api referendum di sejumlah negara Eropa.
Partai sayap kanan Garda Nasional, National Front (FN) Prancis telah menegaskan bahwa Prancis harus menunjukkan sikap serupa Inggris, yakni 'Frexit' -- French Exit.
"Apa yang saya minta adalah referendum di Prancis. Setiap anggota UE memiliki hak untuk bersuara melalui referendum," tegasnya.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan University of Edinburgh menunjukkan bahwa sekitar 53 persen rakyat Prancis mendukung terjadinya Frexit. Di Jerman, survei yang dilakukan berakhir dengan hasil 29 persen rakyat Jerman memilih cerai dari UE dan hanya 54 persen yang mendukung tetap berada di bawah UE.
Bayang-bayang referendum juga terjadi di Belanda, di mana 53 persen rakyat di Negeri Van Oranye mendambakan terjadinya 'Nexit' atau Netherland Exit. Pemimpin sayap kanan Belanda, Geert Wilders saat ini mengungguli jajak pendapat yang mendukung Nexit.
Ia bahkan menyebut Brexit adalah 'musim semi patriotik' dan Belanda harus menjadi negara berikutnya yang meninggalkan UE. "Hal itu untuk menemukan kembali identitas nasional, bangsa di mana rakyatnya mendapat kembali kontrol atas identitas, perbatasan, dan imigrasi," ujarnya.
Swedia juga disebut berpotensi melakukan 'Swexit' -- Swedia Exit. Hal tersebut didasarkan pada survei Sifo Research International yang menyebutkan sekitar 36 persen rakyat di negara itu menginginkan hengkang dari UE.
Sementara itu di Ceko, PM Menteri Bohuslav Sobotka mengatakan pada Februari lalu bahwa Brexit akan memicu perdebatan serupa di negaranya. "Jika Brexit terjadi, maka kita bisa menghadapi perdebatan yang sama dalam beberapa tahun mendatang," jelasnya.
Studi oleh the Friedrich-Ebert-Stiftung menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Ceko atau sekitar 57 persen dilaporkan melihat keanggotaan negara mereka di UE sebagai sebuah risiko.