Liputan6.com, Berlin - Kubu Brexit menang dalam referendum yang digelar untuk menentukan nasib keanggotaan Inggris di Uni Eropa (UE) pada Kamis 23 Juni 2016.
Pada Sabtu ini, giliran Jerman dan Prancis yang mendesak agar Britania Raya menegosiasikan 'perceraiannya' dengan Uni Eropa secara cepat. Tak usah menunggu sampai Oktober, apalagi dua tahun lagi.
Alasannya, keputusan tersebut telah mengirimkan gelombang kejut ke penjuru Bumi.
Sejumlah pemimpin Eropa menilai, ketidakpastian yang akan berlangsung selama berbulan-bulan, sebelum proses 'talak' dijatuhkan, tak adil untuk 27 negara anggota lainnya.
"Proses ini harus berlangsung dengan segera, sehingga kita tidak harus tersandera oleh ketidakpastian, dan bisa segera berkonsentrasi pada masa depan Eropa," kata Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier setelah menjadi tuan rumah pertemuan yang dihadiri para koleganya dari enam negara pendiri Uni Eropa: Jerman, Prancis, Italia, Belanda, Belgia, dan Luksemburg, seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (25/6/2016).
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Marc Ayrault memperingatkan bahaya yang bisa terjadi akibat penundaan proses tersebut.
"Kita harus memberikan sensasi baru ke Eropa, jika tidak populisme akan mengisi kesenjangan," kata dia.
Keputusan Brexit memperkuat kekhawatiran di kalangan politisi arus utama terhadap bangkitnya partai-partai antikemapanan. Marine Le Pen, politisi kontroversial dari partai sayap kanan National Front diperkirakan akan punya posisi tawar lebih dalam pemilihan presiden tahun depan.
Dan tak menutup kemungkinan sejumlah negara akan meniru langkah Inggris. Menimbulkan efek domino yang akan mempreteli kekuatan Uni Eropa.
Misalnya yang terjadi di Slovakia. Partai Rakyat di sana meluncurkan petisi referendum untuk menentukan nasib negaranya di Uni Eropa.
"Rakyat Inggris telah memutuskan untuk menolak diktat dari Brussel. Ini adalah kesempatan baik bagi Slovakia untuk meninggalkan Eropa yang tenggelam seperti 'Titanic'," demikian pernyataan partai tersebut dalam situsnya.
Sementara, Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker berharap bisa memulai proses negosiasi pemisahan Inggris dari Uni Eropa.
"Tak masuk akal untuk menunggu hingga Oktober untuk mencoba menegosiasikan keinginan mereka (Inggris) untuk hengkang," kata dia.
Pernyataan Bank Sentral Eropa menambah tekanan ke pihak Inggris, dengan mengatakan bahwa industri finansial Negeri Ratu Elizabeth -- yang mempekerjakan 2,2 juta orang -- akan kehilangah hak untuk melayani klien mereka di Uni Eropa kecuali negara tersebut mendaftar ikut dalam pasar tunggal -- sesuatu yang 'diharamkan' kubu Leave atau Brexit.
Keputusan Inggris hengkang dari Uni Eropa -- blok perdagangan paling besar dunia -- adalah hantaman besar sejak Perang Dunia II bagi semangat persatuan negara-negara di Benua Biru.
Bahkan di Inggris, perpecahan kian melebar setelah referendum. Menteri Pertama Skotlandia, Nicola Sturgeon mewacanakan referendum kedua kemerdekaan dari Inggris Raya.
Di wilayah selatan Inggris, para pendukung Uni Eropa mempertanyakan masa depan mereka, seperti yang tertera dalam halaman depan Daily Mirror, "So what the hell happens now?" -- apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Perdana Menteri David Cameron mengumumkan pada hari Jumat ia akan mengundurkan diri setelah warga Inggris, dengan perolehan suara 52 melawan 48 persen memutuskan keluar dari Uni Eropa -- sebuah keputusan yang membuat pasar saham global terjun, dan menimbulkan penurunan nilai pound sterling paling drastis sejak 1985.
Tapi Cameron berjanji untuk tetap menjadi caretaker hingga Oktober hingga Partai Konservatif memilih pemimpin baru -- yang akan menegosiasikan proses perpisahan dengan Uni Eropa.
Advertisement