Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli melakukan kunjungan ke Hutan Ketentang, Batu Cermin, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Hutan tersebut dulunya merupakan lahan tandus berbatu yang kemudian diberdayakan oleh Pemuka Agama Labuan Bajo, Romo Marsel Agot.
Disela-sela kunjungannya, Rizal mengatakan, pentingnya membuat dan melestarikan hutan buatan di wilayah tropis seperti NTT. Dengan adanya, hutan, maka akan ada sumber air dan sirkulasi udara yang lebih baik. Dengan demikian, masyarakat di sekitarnya bisa hidup lebih sehat.
"Dengan adanya hutan, maka ada air, ada kehidupan, ada oksigen. Dan manfaatnya besar untuk kesehatan fisik dan jiwa.Ini penting, karena di sini hujan hanya 4 bulan, dan 8 bulan kering. Kalau banyak hutan akan banyak berubah, lebih bagus dan lebih sehat," ujar dia di LabuanBajo, NTT, Senin (27/6/2016).
Baca Juga
Advertisement
Seiring dengan program pemerintah untuk mengembangkan potensi pariwisata di Labuan Bajo, Rizal Ramli juga ingin agar hutan buatan seperti ini menjadi proyek percontohan untuk wisata berwawasan lingkungan. Hal ini juga akan mendukung pengembangan pariwisata itu sendiri.
"Mudah-mudahan ini jadi contoh untuk yang lain. Utamanya untuk meningkatkan varietas tumbuhan. Bisa jadi wisata eco friendly yang ramah lingkungan. Kita bisa bikin forest botanical garden," kata dia.
Sementara itu, Romo Marsel Agot mengatakan, idenya untuk membuat hutan buatan ini berawal dari rasa keprihatinannya terhadap rusaknya hutan di NTT, khususnya di Kabupaten Manggarai Barat. Oleh sebab itu, dirinya berinisiatif mengajak masyarakat sekitar dan para mahasiswa untuk membuat hutan buatan ini pada 2000.
"Ini berangkat dari kegelisahan diri akan kehancuran hutan di Manggarai Barat. Saya ajak mitra kerja, karyawan mahasiswa. Kami dicemooh awalnya karena lokasi tidak memungkinkan, penuh batu. Karena kemauan keras akhirnya sukses. Kita puas karena akhirnya muncul mata air ini. Kita bisa menikmati air ini," jelas dia.
Hutan ini memiliki luas sekitar 12 hektar (ha). Di dalamnya terdapat 32 varietas tanaman asli NTT, diantaranya aseng, rumu, ngancar, kesi, ajang, nara, rui, kawak, dan lain-lain. "Jadi ini sudah kita mulai sejak 2000. Sejak 7 tahun lalu baru timbul mata airnya," tandas dia.
**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.