Liputan6.com, Jakarta Pernahkan memperhatikan di jalanan saat terjadi kecelakaan lalu lintas? Saat dua pihak yang mengalami kecelakaan bertemu, apakah yang terjadi? Apakah mereka lalu saling minta maaf dan mengkhawatirkan jangan-jangan masing-masing dari mereka telah merugikan orang lain? Umumnya tidak seperti itu, pihak-pihak yang mengalami kecelakaan biasanya seperti berlomba “menyelamatkan diri” dengan berusaha menjadi yang pertama menyalahkan pihak lain. Dan itu biasa terjadi.
Dalam dunia pendidikan, jika ada masalah dengan anak, apa yang kemudian terjadi? Pihak orangtua buru-buru akan menuduh sekolah tidak becus tanpa sadar bahwa proses pendidikan merupakan tanggung jawab orangtua juga. Maka tidak heran saat ini banyak guru tersandung kasus hukum karena laporan dari orangtua. Dari pihak pihak guru pun, saat anak mengalami masalah, seringkali tidak berusaha melihat dahulu apakah ada yang perlu diperbaiki dalam proses pendidikan yang dikawalnya. Apakah mereka sudah terlebih dahulu bertanya pada diri sendiri apakah sudah mendampingi anak dengan baik? Jangan-jangan para guru sibuk dengan urusan-urusan mereka sendiri seperti menambah penghasilan dan semacamnya. Akibatnya dengan mudahnya mereka menuduh bahwa anak didiknya adalah pribadi yang bermasalah
Advertisement
Di keluarga, apakah yang terjadi saat ada masalah antar pasangan? Apakah masing-masing berusaha terlebih dahulu melihat apa kekurangan dirinya? Sepertinya tidak demikian. Banyak orang yang bermasalah dalam relasi dengan pasangannya kemudian justru berusaha mencari kesalahan pasangannya. Padahal seringkali mereka lupa bahwa sebagai pasangan, terjadinya suatu masalah tidak akan lepas dari kontribusi masing-masing pihak seberapapun kecilnya. Maka sudah menjadi hal yang umum jika pasangan yang datang ke konselor pernikahan selalu didominasi dengan ide-ide mengenai kesalahan pasangannya.
Siapa berkuasa
Masih dalam konteks keluarga, jika orangtua melakukan suatu kesalahan pada anak khususnya ketika anak masih kecil, apakah dengan mudah secara tulus dan jujur minta maaf pada anak? Banyak orangtua yang ketika melakukan kesalahan pada anak lebih memilih menggunakan mekanisme relasi “siapa yang lebih berkuasa” untuk menyelamatkan dirinya. Mengatakan “kamu masih kecil, tahu apa”, menjadi kata-kata yang cukup populer disampaikan. Apalagi saat menghadapi anak kritis yang sering “menggugat” orangtuanya.
Dalam masyarakat kita, mengakui kesalahan dan kemudian diteruskan dengan minta maaf agaknya merupakan sebuah tindakan yang tidak mudah untuk dilakukan. Alih-alih minta maaf, mereka yang melakukan suatu kesalahan seringkali kemudian jatuh dalam tindakan pembelaan diri secara gencar. Pembelaan diri dilakukan lewat menciptakan berbagai alasan rasional. Bagi mereka yang lebih “cerdas”, pembelaan diri dilakukan lewat berbagai manipulasi yang membuat diri mereka tampak menjadi pihak yang tidak bisa atau tidak layak di salahkan atas masalah yang terjadi. Misalnya saja seorang suami atau istri yang kedapatan selingkuh berusaha “mendesain” bahwa sebenarnya dirinyalah yang menjadi korban godaan dari pihak luar.
Celakanya, dari awalnya membangun kebohongan untuk menyelamatkan diri, ketika kemudian menjadi terbiasa, yang bersangkutan pada akhirnya akan merasa bahwa memang kebohongan yang sebenarnya diciptakannya sendiri itulah yang menjadi fakta yang sesungguhnya. Mengapa kita sulit mengakui kesalahan meskipun dalam hati kita yang tersembunyi sebenarnya kita tahu bahwa kitalah yang bersalah atau minimal ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya masalah?
Jawaban pertama untuk masalah ini memang terletak pada bagaimana secara umum lingkungan sosial memberikan perlakuan kepada setiap individu. Jika kita menengok kehidupan sehari-hari dalam budaya masyarakat kita, tekanan terhadap individu untuk menjadi sosok sempurna tampaknya cukup kuat. Ditambah dengan kecenderungan masyarakat yang menekankan pentingnya bagaimana orang lain memandang diri, banyak individu yang kemudian menghabiskan banyak energi dalam hidupnya untuk menjadi sosok yang sempurna.
Advertisement
Pandangan negatif
Ketakutan akan pandangan negatif dari lingkungan , yang sebenarnya terkait juga dengan rendahnya harga diri, membuat banyak individu dalam masyarakat kita untuk seminimal mungkin melakukan kesalahan atau setidaknya menampakkan kesalahannya yang sebenarna dilakukannya . Akibatnya mengakui kesalahan, yang berarti menampakkan diri di muka umum sebagai pribadi yang salah merupakan salah satu aib yang harus dihindari. Bahkan ketika kemudian ada kesalahan yang dilakukan, banyak orang yang kemudian berusaha menutupinya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah melemparkan kesalahan pada orang lain, termasuk orang yang berada dalam posisi lemah, sehingga dengan demikian akan menempatkan dirinya dalam posisi tidak bersalah.
Tidak mengakui kesalahan yang dilakukan jelas merupakan tanda-tanda ketidakmatangan pribadi. Kesalahan dalam hidup memang seminim mungkin dilakukan namun demikian, saat orang melakukan kesalahan, dia harus mau mengakui dan bertanggung jawab terhadapnya. Ada kata-kata bijak yang sering didengar yaitu bahwa “manusia adalah mahluk yang tidak sempurna”. Hal ini berarti adalah hal yang wajar jika kita sebagai manusia melakukan kesalahan dalam kehidupannya. Kesalahan bagi banyak orang bahkan dapat menjadi titik tolak untuk bergerak ke arah yang lebih baik. Lewat kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan, orang-orang tersebut belajar dan melangkah dengan lebih berhati-hati. Pada akhirnya mereka pun mencapai tahap yang lebih matang dalam hidupnya.
Y. Heri Widodo, M.Psi., Psikolog
Dosen Sanata Dharma dan Pemilik Taman Penitipan anak (daycare) Kerang Mutiara Yogyakarta
**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.
http://ramadhan.liputan6.com/?utm_source=Direct&utm_medium=ContentPromotion&utm_campaign=Ramadan_Festival