Beredar Vaksin Palsu, Salah Siapa?

Ternyata, kasus penemuan vaksin palsu bukan kali ini. BPOM menyatakan pihaknya pernah menemukan kasus serupa pada 2010 di Medan.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 29 Jun 2016, 07:00 WIB
BPOM menemukan modus vaksin palsu 3 tahun lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan vaksin palsu untuk balita yang diungkap oleh jajaran Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri kian membuat masyarakat khawatir. Pasalnya, vaksin palsu ini diduga telah tersebar di beberapa daerah, bukan hanya di Ibu Kota.

Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maura Linda Sitanggang mengatakan, sebenarnya ada aturan tentang pembuatan vaksin legal.

Vaksin, kata dia, termasuk golongan obat dengan pengawasan ketat atau highly regulated. Untuk memproduksi vaksin, produsen dipantau sedemikian ketat termasuk dalam hal pendistribusian hingga penjualan. Pengawasan tentunya dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

"Maksudnya, itu dilakukan penilaian di BPOM. Bahkan setelah diproduksi itu tiap batch harus ada rilis dari BPOM. Itu namanya vaksin yang legal," kata Linda di Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa 28 Juni 2016.

Ia mengungkapkan hanya ada satu produsen vaksin yang legal di Indonesia, yaitu Bio Farma. Selain itu, ada beberapa produsen vaksin legal lainnya dari luar negeri yang juga memasarkan vaksin di Indonesia. Tentunya sebelum diedarkan, sudah terlebih dahulu diawasi dan diuji secara ketat.

"Dilakukan sampling, pengujian, inspeksi kepada produsen dan distributor. Ini sistem yang sangat ketat dilakukan untuk pengawasan vaksin," sambung Linda.

Pengawasan terhadap vaksin, terus dilakukan oleh pihak Kemenkes dengan menggandeng BPOM. Linda menambahkan, sejak 24 Juni 2016, pihaknya sudah memberikan surat edaran kepada seluruh pelaksana imunisasi agar teliti memilih vaksin. Sehingga bila ditemukan vaksin palsu, bisa dicegah secara dini.

"Apabila meragukan, vaksin itu diamankan atau tidak digunakan. Sudah dilakukan pengamanan dari segala aspek," ujar Linda.

Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan rapat dengar pendapat dengan Menkes.

Bukan Pertama

Pengawasan tak hanya melalui surat edaran, Kemenkes dan BPOM pun turut serta bersama Dit Tipid Eksus Bareskrim Polri membentuk Satgas penanganan vaksin palsu. Dibentuknya Satgas ini sebagai tindak lanjut maraknya peredaran vaksin palsu di sejumlah daerah dan diharapkan dapat memutus rantai peredaran vaksin yang meresahkan ini.

Ternyata, kasus penemuan vaksin palsu bukan kali ini. BPOM menyatakan pihaknya pernah menemukan kasus serupa pada 2010 di Medan, Sumatera Utara. Kemudian, pada 2014 dan BPOM juga mengungkap adanya rumah produksi vaksin palsu di wilayah yang sama.

Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan Badan POM, Hendri Siswadi, enggan dianggap kecolongan dalam mengawasi peredaran vaksin. Berbekal sejumlah temuan pada tahun-tahun lalu, dia menganggap pengawasan dari mulai produksi hingga penjualan vaksin telah dilakukan dengan benar.

"Pengawasan obat dan makanan sejak mencuatnya berita ini, sudah memerintahkan semua balai POM seluruh Indonesia untuk melakukan pemeriksaan di beberapa sarana, apotek, RS, dan pedagang besar farmasi," kata Hendri.

Namun di satu sisi, pengungkapkan kasus pemalsuan vaksin oleh Bareskrim Polri cukup mencengangkan. Sebab dari 16 orang yang telah ditetapkan tersangka, dua di antaranya adalah pasangan suami istri, Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina, yang berperan sebagai produsen dan mengaku telah menjalankan bisnis haramnya sejak 2003.

Ironi, ketika kasus vaksin palsu mencuat pada 21 Juni 2016, BPOM baru memerintahkan BPOM di seluruh provinsi untuk melakukan pengawasan. Sementara, kontribusi BPOM di Satgas penanganan vaksin tak jauh berbeda dengan tupoksi awalnya sebagai lembaga yang mengawasi obat dan makanan.

"Kontribusi kami, yaitu melakukan uji terhadap vaksin palsu, kedua kami juga akan memberikan bantuan keterangan ahli," tandas Hendri.

**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya