Liputan6.com, Washington DC - Pada Selasa 28 Juni 2016 malam, di tengah Bulan Suci Ramadan, aksi teror terjadi di Bandara Ataturk di Istanbul, Turki.
Jumlah korban jiwa terus bertambah. Data teranyar CNN, yang diperoleh dari Perdana Menteri Turki menyebut, 36 orang meninggal dunia dan 147 lainnya terluka.
Menanggapi insiden yang terjadi di Istanbul, yang menjadi salah satu pintu gerbang ke Eropa, juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest mengatakan, Amerika Serikat mengutuk keras aksi teror tersebut.
Earnest mengatakan, serangan ke Bandara Istanbul, setelah sebelumnya juga terjadi di Bandara Brussel Belgia, menjadi simbol hubungan internasional dan ikatan yang membuat negara-negara bersama-sama melawan terorisme.
Ia menambahkan, AS mengungkapkan duka cita mendalam pada keluarga korban, juga mengharap agar mereka yang terluka cepat pulih.
Earnest menegaskan, AS tetap setia mendukung Turki, sekutunya di NATO, "bersama-sama dengan semua sahabat dan sekutu di seluruh dunia, kita akan terus melawan ancaman teroris," kata dia seperti dikutip dari ABC News, Rabu (29/6/2016).
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop juga mengatakan, pemerintahnya mengutuk keras kejadian teror di Istanbul.
Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia hingga kini sedang mencari tahu apakah ada warganya yang menjadi korban dalam teror tersebut.
"Namun, saya memahami bahwa aparat Turki masih mengamankan area serangan dan menutup Bandara Ataturk setidaknya selama 48 jam," ujarnya.
Australia memperbarui imbauan perjalanan ke Turki. "Kami terus mengimbau warga Australia untuk memikirkan kembali rencana perjalanannya ke Istanbul. Warga Australia di Istanbul diimbau untuk berhati-hati.
Advertisement
**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.