Liputan6.com, Pekanbaru - Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Pekanbaru berhasil mendapatkan 20 ampul vaksin yang diduga palsu. Vaksin itu terdiri dari anti-bisa ular dan anti-tetanus yang berlabel Biosat dan Biosave.
Menurut Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Pekanbaru, Indra Ginting, vaksin anti-bisa ular diduga palsu memiliki perbedaan dari vaksin asli. Perbedaan pertama teridentifikasi dari ukuran botol.
"BPOM sendiri sudah menerima bentuk vaksin asli. Bentuknya memang mirip dengan yang asli, bedanya dari botol. Yang asli lebih kecil, sedang yang diduga palsu agak besar," kata Indra kepada wartawan, Rabu (29/6/2016).
Selain kemasan, vaksin palsu memiliki warna lebih terang. Sementara, vaksin asli memiliki warna lebih pekat.
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, pemalsuan Biosat palsu terlihat dari perbedaan tinggi botol. "Kalau Biosat tinggi botolnya juga terlihat mencolok," jelas Indra.
Selain kedua vaksin produksi Biofarma yang dipalsukan, ada pula vaksin berlabel ATS (anti-tetanus serum) yang juga berfungsi sebagai vaksin anti-tetanus. Indra menerangkan, ATS tidak lagi diproduksi sejak 2015 dan digantikan dengan produksi Biosat. Indikasi pemalsuannya kuat karena kode kedaluwarsanya tak lazim.
"Di kode kedaluwarsanya juga dibuat tahun 2018. Ini janggal sebab lazimnya, vaksin itu kedaluwarsanya dua tahun sejak tanggal diproduksi," ujar Ginting.
Vaksin atau Serum?
Sementara itu, Corporate Secretary PT Bio Farma M. Rahman Rustan menjelaskan baik Biosave maupun Biosat merupakan jenis serum yang bersifat mengobati pasien, bukan vaksin yang hanya bersifat pencegahan. Karena itu, dosis serum lebih tinggi dibandingkan vaksin.
"Serum itu obat. Jadi kalau itu palsu, tentu tidak akan mengobati. Pasien bisa meninggal kalau diberikan serum palsu. Beda kalau vaksin, pasien hanya tidak mendapatkan imunitas," tutur Rahman kepada Liputan6.com, Selasa, 28 Juni 2016.
Rahman menerangkan, Biosave adalah serum anti-bisa ular, sedangkan Biosat merupakan serum anti-tetanus yang diproduksi menggantikan ATS yang tidak lagi diproduksi sejak 2015. Berdasarkan laman www.mims.com, satu ampul Biosat dihargai Rp 158.125, sedangkan satu ampul Biosave bernilai Rp 591.250.
Dengan harga tersebut, Rahman mengaku tidak heran jika ada orang yang tega memalsukan serum. Meski begitu, ia mengatakan belum mendapatkan laporan adanya pemalsuan serum. Namun, ia memastikan pihaknya akan segera bergerak untuk memastikan kebenaran informasi tersebut.
"Kita harus kejar," kata Rahman.
Begitu bukti didapat, Bio Farma akan segera melaksanakan tes identifikasi terhadap serum palsu tersebut. Jika tes identifikasi vaksin palsu memerlukan waktu tiga hari, identifikasi serum palsu bisa memerlukan waktu hingga seminggu.
"Selanjutnya, melakukan tes potensi atau titer. Kalau tes potensi atau titer untuk menentukan jumlah kandungannya apakah sesuai atau tidak," ucap Rahman.
Advertisement
Identifikasi Produk Palsu
Terkait vaksin palsu, Rahman menyatakan agak sulit bagi masyarakat awam membedakan vaksin tersebut palsu atau tidak. Namun bagi yang sehari-hari bersinggungan dengan vaksin, mereka bisa melihat perbedaan pada wrana label, kerapihan kemasan, batas kedaluwarsa dan batch (kode produksi).
"Pada kemasan ada kode tertentu, nah kita coba bantu cek. Kalau sudah mirip (kemasannya), kita uji identifikasi," kata Rahman.
Selain empat tanda itu, ada satu lagi tanda yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi produk sebagai vaksin palsu atau tidak, yakni VVM (vaccine vial monitor). Itu adalah label indikator suhu yang berubah jika bersinggungan dengan panas. Maka itu, penanganan vaksin memerlukan kehati-hatian karena sangat sensitif terhadap panas.
Bio Farma, lanjut Rahman, hanya memilih empat distributor resmi dalam mendistribusikan vaksin dan serum. Pemilihan distributor didasarkan pada kemampuannya menjaga produk secara stabil dalam pendistribusian. Selain itu juga didasarkan pada izin dan latar belakang distributor.
"Khusus untuk vaksin polio harus disimpan di suhu -20 derajat Celcius, sedangkan lainnya butuh suhu -2 hingga -8 derajat Celcius," ucap Rahman.