Liputan6.com, Temanggung - Supriyanto yang menyimpan jasad ibunya, menggiring opini publik dan polisi sebagai penganut aliran sesat. Tes kejiwaan dilakukan untuk memastikan kondisi psikologis lajang berambut gondrong ini.
Penyelidikan dan penyidikan polisi serta kesaksian kepala desa Bojonegoro menyebutkan bahwa Supriyanto sering menggelar ritual aneh setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Seperti apa ritual aneh dan mantera aneh Supriyanto?
Supriyanto sendiri usai menjalani pemeriksaan psikologis oleh tim Biddokes Polda Jateng sempat menyampaikan penyesalaannya. Ia mengaku sudah membuat kehebohan dan rasa tidak nyaman di masyarakat.
"Nyong janji ora mbaleni maneh (saya tidak akan mengulangi lagi). Yang sudah, iya sudah. Saya dan teman-teman sudah merepotkan Bapak-bapak polisi, mas-mas polisi dan ibu-ibu polisi. Mohon maaf perbuatan kami mengganggu ketenangan warga Dusun Ngrancang," kata Supriyanto kepada petugas penyidik.
Baca Juga
Advertisement
Meskipun demikian, Supriyanto menyebutkan bahwa "ritual" yang rutin digelar setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon dihentikan untuk sementara. Untuk sementara?
"Ya baru akan digelar lagi jika aparat kepolisian setempat mengizinkan. Jika sudah kembali normal dan Pak Polisi membolehkan atau mengizinkan," kata Supri.
Supriyanto sendiri akhirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ritual adalah latihan musik bersama. Latihan itu mempergunakan alat musik diatonis semacam keyboard yang dipadu dengan alat musik pentatonis berupa gamelan Jawa.
Bagi Supriyanto, bermain musik dan klonengan (karawitan jawa) merupakan sarana untuk mencapai ketenangan jiwa. Itulah sebabnya ia mengaku berhasil menciptakan sekitar limapuluh lagu yang kesemuanya merupakan lagu dengan lirik bahasa jawa kuno, yang tidak lazim.
"Iya, tiap Selasa kliwon dan Jumat kliwon kita akan latihan kloneng-kloneng, main gamelan atau main musik lagi. Lagu saya bercerita tentang kehidupan," kata Supriyanto.
Mantera Misterius?
Penggunaan bahasa Jawa kuno dengan struktur yang asal-asalan itu memang menciptakan sensasi bebunyian yang berbeda. Ada aroma mistis karena dilagukan dengan nada pentatonis. Iringan gambang, demung yang pelan dan mendayu semakin melengkapi suasana mistis itu.
Hanya saja, dalam setiap latihan bermusik, selalu saja diawali dengan lagu mistis. Lagu yang oleh masyarakat Jawa diyakini sebagai pemanggil kuntilanak.
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno / Ojo Tangi nggonmu guling / awas jo ngetoro / aku lagi bang wingo wingo / jin setan kang tak utusi / jin setan kang tak utusi / dadyo sembarang / Wojo lelayu sebet.
Terjemahan bebasnya kurang lebih :
Menjelang malam dirimu(bayangmu) mulai sirna / Jangan terbangun dari tidurmu / Awas, jangan terlihat (memperlihatkan diri) / Aku sedang gelisah / Jin setan kuperintahkan / Jadilah apapun juga / Namun jangan membawa maut.
"Itu kan lagu jawa kuno. Kadang juga lagu Boyong," kata Supri.
Adapun lirik lagu Boyong hanya dua baris, namun diulang-ulang secara ritmis. "Ayo mupu bocah bajang / rambute abang arang" (Mari memelihara anak kerdil yang rambutnya merah dan jarang).
Lagu Boyong ini sebenarnya bukan sembarang lagu, melainkan tembang dolanan untuk memanggil roh dalam permainan Nini Thowok. Anehnya, lagu-lagu mistis itu Supri mengaku tidak tahu.
"Saya hanya pernah mendengar. Enak didengar. Tidak tahu apa gunanya. Lagu ya lagu bukan mantera," kata Supriyanto.
Sosok Aneh Supriyanto
Sementara itu penjelasan agak gamblang tentang Supriyanto datang dari kakak kandungnya, Susilo. Semasa Parimah masih hidup, setiap hari Susilo menengok dan membawakan makanan. Namun sejak Parimah meninggal, Susilo mengaku jarang masuk ke rumah keluarga besarnya itu.
Itu pula yang membuatnya kaget saat mengetahui bahwa Supriyanto membongkar kuburan ibunya dan menyimpan mayatnya. Susilo menduga Supriyanto terkena depresi.
"Memang adik saya sedikit gendheng, tapi tidak gila. Supri masih waras. Namun, setelah ibu meninggal, perilakunya aneh-aneh, seperti kena gangguan jiwa," kata Susilo.
Menurut Susilo Supriyanto sejak kecil tidak mau sekolah. Supriyanto juga tidak mau menikah meski pihak keluarga terus mendorongnya agar mengakhiri hidup membujang. Justru Supriyanto adalah sosok yang kuat dan gemar laku prihatin serta tirakat.
"Dia sering puasa ngebleng (puasa 40 hari tidak makan, red). Apa karena lelakunya itu yang membuatnya seperti ini. Mungkin jiwanya nggak kuat ya?" kata Susilo.
Sementara itu Supriyati, isteri Susilo menyebutkan bahwa sepeninggal ibunya, hampir tiap malam Supriyanto menangis dan memanggil-manggil ibunya. Dari lima anak Parimah, memang Supriyanto yang paling dekat dengan ibunya.
"Supriyanto itu pintar mengarang lagu. Hampir tiap hari ada lagu. Kemudian tiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, Supriyanto bersama teman-temannya menyanyikan lagu itu dengan diiringi musik dan gamelan. Kadang mereka latihan sampai pagi hari," kata Supriyati.
Karena aktivitas bermusiknya yang tak kenal waktu itulah, warga dusun Ngrancang merasa terganggu. Beberapa kali mereka melapor ke kepala dusun.
"Pak Kepala Dusun dan Pak Kepala Desa memberi teguran berkali-kali," kata Supriyati.
Advertisement