Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan memperkuat kebijakan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk memperkuat daya saing minyak sawit nasional. Ini terutama usai bubarnya The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP).
Keenam perusahaan yang sebelumnya tergabung dalam IPOP, menyatakan kesediaan untuk bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia dengan melebur ke dalam standar ISPO.
Dirjen Perkebunan Gamal Nasir mengatakan, bubarnya IPOP akan semakin mengukuhkan posisi ISPO sebagai satu-satunya landasan sawit berkelanjutan di Indonesia.
Sebagai standar tunggal sawit berkelanjutan di Indonesia, ISPO akan diperkuat dengan mengadopsi best-practices standar internasional yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Standar ini perlu agar produk sawit Indonesia dapat bersaing di pasar internasional sejalan dengan kepentingan strategis Republik Indonesia.Sepak terjang Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) akhirnya tamat.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Gamal, dirinya sebagai pemegang otoritas di sektor perkebunan kelapa sawit, termasuk para petani, sejak awal tidak setuju dengan IPOP. Oleh karena itu, mantan anggota IPOP selanjutnya wajib hanya tunduk kepada aturan main pemerintah Indonesia. “Saya mendukung dan menyambut baik pembubaran ini,” ujar Gamal di Jakarta, Kamis (30/6/2016).
Usai deklarasi pembubaran IPOP dari para signatories, pemerintah akan mengeluarkan surat resmi yang menyatakan Manajemen IPOP telah bubar.
Surat tersebut dinilai sangat berguna, khususnya dalam menghadapi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Saat ini, KPPU menyelidiki adanya dugaan kartel yang dilakukan anggota IPOP.
“Saya sudah konsultasi dengan Menteri Pertanian, dan akan saya keluarkan surat pemberitahuan kalau anggota IPOP sudah menghadap saya dan menyatakan membubarkan diri,” jelas Gamal.
Selain digunakan untuk keperluan menghadapi KPPU, kata Gamal, surat itu juga diperlukan sebagai pemberitahuan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan sejumlah instansi terkait.
Sementara, Wakil Ketua Kadin Bidang Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Shinta Widjaja Kamdani mengatakan pihaknya akan mengikuti kemauan anggota IPOP yang mengajukan pembubaran diri.
"Kalau anggota ingin bubar, silakan saja. Nanti kami akan fasilitasi dengan pemerintah untuk mencari solusi lain," kata Shinta.
Namun, Shinta meminta pemerintah untuk memikirkan dampak dari pembubaran IPOP di mata internasional. Hal ini karena standar global meminta kelapa sawit melakukan industri yang berkelanjutan.
Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Mangga Barani meminta Kadin maupun pemerintah agar sebelum mengambil kebijakan di komoditi kelapa sawit sebaiknya melibatkan pemangku kepentingan.
Minimal dengan Asosiasi Petani Kelapa Sawit, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), dan Dewan Minyak Sawit Indonesia. “Tujuannya agar persoalan IPOP ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari,” kata Mangga Barani.
Seperti diketahui, pembentukan IPOP merupakan inisiasi Kadin di sela-sela KTT Iklim yang berlangsung di Markas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York, AS pada 24 September 2014. Ikrar ini ditandatangani oleh empat perusahaan sawit, yakni Golden Agri Resources, Wilmar, Cargill dan Asian Agri.
Namun dalam prakteknya, IPOP ini banyak ditentang perusahaan sawit menengah dan kecil, serta para petani sawit. Karena CPO dan tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan tidak bisa diserap perusahaan anggota IPOP dengan alasan tidak sustain.
Pemerintah pun menolak pemberlakuan IPOP di Indonesia karena bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
*Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.