Liputan6.com, Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) diyakini sanggup menampung dana repatriasi hasil tax amnesty hingga Rp 200 triliun. Dengan tambahan uang tersebut, kapitalisasi pasar di BEI bisa mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun di akhir tahun ini.
Ini diungkapkan Direktur Utama BEI Tito Sulistio usai menepati nazar berjalan kaki dari kantor BEI ke rumahnya di Pondok Indah, Jumat (1/7/2016)
Dia mengatakan, pada dasarnya tax amnesty mampu meningkatkan likuiditas di pasar keuangan. Saat kebanjiran repatriasi dana Warga Negara Indonesia (WNI), maka suku bunga (interest) akan turun dan kemudian mengerek pasar modal.
Lebih jauh dia menjelaskan, saat ini transaksi di pasar modal rata-rata Rp 6 triliun per hari. Hanya saja realisasinya, rasio kapitalisasi pasar di pasar modal terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia baru mencapai 30 persen. Sementara transaksi per bulan dibagi kapitalisasi pasar baru sebesar 21 persen.
“Apa transaksi bulanan ini besar? Kalau dilihat Singapura rasionya sudah 39 persen, Thailand 70 persen, China bahkan mencapai 400 persen. Jadi kalau kita bisa 40 persen saja transaksinya, berarti Rp 12 triliun itu biasa saja. Tapi kalau ada tambahan Rp 6 triliun per hari, sebulan 24 hari, itu sudah Rp 132 triliun per bulan,” jelas dia di Pondok Indah Mal.
Tito justru berharap transaksi per bulan sampai Rp 200 triliun dengan rasio 70 persen di pasar modal Indonesia. Keuntungan lain, dengan uang atau harta kekayaan WNI yang pulang kampung ke negara ini akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk mencatatkan saham perdananya (go public) di BEI.
“Suplai barang nambah, perusahaan yang go public makin banyak, ada kemudahan dalam akses. Broker tambah kuat karena broker MKBD (modal kerja bersih disesuaikan) di atas Rp 150 miliar bisa relaksasi marjinnya dari 45 saham menjadi 200 saham. Jadi ini kebetulan pas semua rencana jalan, ada tax amnesty dan ini yang kita percaya bisa menggerakkan pasar,” terang Tito.
Dia menuturkan, pemerintah menerapkan tax amnesty supaya dana repatriasi dapat dikelola secara maksimal, baik itu di sektor keuangan maupun sektor riil. Pemohon tax amnesty mengharapkan kepastian hukum dan imbal hasil tinggi dari memarkir uangnya di Indonesia.
“Di sini, pasar modal jadi menarik karena bisa di pasar saham, reksadana penyertaan terbatas mereka bisa ikut me-manage, masuk ke perusahaan sendiri boleh, atau perusahaan go public lain, me-manage dana masuk ke rekening dana nasabah, jual beli saham sendiri boleh. Pasar modal harus siap jadi garda terdepan menyerap dana repatriasi,” tegas Tito.
Dia berharap, kapitalisasi pasar BEI bisa menembus lebih dari Rp 6.000 triliun sampai akhir tahun ini. “Mudah-mudahan bisa di atas Rp 6.000 triliun di akhir 2016 untuk kapitalisasi pasar modal,” cetusnya.
Advertisement
Persiapan BEI Hadapi Pelaksanaan Tax Amnesty
Menurut Tito, BEI telah melakukan konsolidasi dalam menyambut pelaksanaan tax amnesty. Hal pertama yang akan dilakukan adalah sosialisasi.
Tito mengaku telah berkoordinasi dengan pihak 19 Kantor Pelayanan yang mempunyai 200 galeri untuk menyuarakan kebijakan pengampunan pajak dengan civitas akademik, seperti mahasiswa dan dosen.
Pihaknya bahkan sudah memanggil 105 broker dengan 2.660 wakil perdagangan efek yang akan mensosialisasikan tax amnesty kepada 125 ribu investor aktifnya dan 600 emiten.
“Kemudian kami siapkan produknya dan infrastruktur menampung uang repatriasi tax amnesty. Tapi kami tidak mensosialisasikan tax amnesty ke luar negeri, karena orang-orangnya ada di Indonesia,” papar dia.
Di sisi lain, kata Tito, pemohon tax amnesty yang mengalirkan uangnya ke pasar modal harus terparkir selama 3 tahun, termasuk di sektor keuangan lain maupun sektor riil.
“Yang diikat adalah rekening dana nasabahnya. Kalau buka akun efek, harus buka rekening dana nasabah, nah ini yang di lock. Tapi masih boleh transaksi jual beli di bawahnya,” ucapnya.
Setelah 3 tahun berlalu, diakuinya, investor bebas membawa uang kembali. Akan tetapi inilah yang menjadi tantangan Indonesia untuk memikirkan strategi supaya dana yang sudah tersimpan tidak kabur ke negara lain atas alasan apapun, termasuk kondisi ekonomi Indonesia.
“Bagaimana membuat investor nyaman, meyakinkan bahwa investasi di Indonesia aman, dapat return besar. Inilah tantangannya, bagaimana kita bisa menawarkan sesuatu yang menarik dibanding negara lain. Karena yang tertarik banyak untuk masuk ke pasar modal, bukan saja konglomerat karena kadang orang bukan menipu atau menghindari pajak, tapi juga banyak yang tidak sengaja,” papar Tito.
Advertisement