Liputan6.com, Surabaya - Lantunan lafaz kalimah thoyibah sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Menggema di kawasan Masjid Sunan Ampel, bacaan zikir itu diucapkan oleh ribuan pengunjung dan peziarah. Lantunan Surah Yasin mewarnai dari sisi barat pengimaman (tempat imam). Orang-orang berburu malam Lailatul Qodar atau malam seribu bulan.
Suasana itu terekam pada Kamis 30 Juni malam hingga tembus Jumat 1 Juli 2016, tepat pada malam ke-27 Ramadan di masjid yang didirikan pada tahun 1421 M oleh Raden Ali Rahmatullah atau Kanjeng Sunan Ampel.
Jaraknya hanya sekitar 4 kilometer dari pusat Kota Surabaya. Masjid Sunan Ampel terletak tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Perak yang merupakan pelabuhan utama di wilayah Indonesia timur.
Baca Juga
Advertisement
Sebagai salah satu masjid tertua dan teramai di Surabaya, Masjid Sunan Ampel tidak bisa dipisahkan dari sosok Sunan Ampel. Dia merupakan salah satu Wali Songo atau jajaran sembilan wali yang berperan menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa.
Masjid Sunan Ampel lebih ramai di malam-malam ganjil akhir Ramadan. Meskipun mayoritas ulama berpendapat lailatul qadar tidak bisa dipastikan kapan jatuhnya, namun ada ancar-ancarnya yakni pada malam ganjil.
"Rumusan yang umum digunakan hanya jatuh di malam ganjil atau pada 10 hari terakhir Ramadan," kata Hasan Hamid, abdi dalem (penjaga) area makam Sunan Ampel saat berbincang dengan Liputan6.com di area makam.
"Peziarah memenuhi area makam dan juga masjid utama untuk lebih mendekatkan diri dengan Allah SWT dan tentunya berburu malam lailatul qadar," tutur Hasan Hamid.
Hasan Hamid menyebutkan mayoritas peziarah datang dari kota di sekitar Jawa Timur seperti dari Gresik, Sidoarjo, Kediri, Pasuruan, dan Madura.
Kebanyakan peziarah kalau malam hari ke 21, 23, 25 , 27 dan 29 memilih berdiam diri (iktikaf), tadarus (membaca Alquran), berzikir hingga semalam suntuk baik di dalam area masjid maupun di area makam Sunan Ampel sejak selepas isya atau selepas salat tarawih.
Lima Gapura Masjid Sunan Ampel
Hasan Hamid menuturkan Masjid Sunan Ampel ini memiliki simbol rukun Islam di setiap sudutnya bangunannya. Ada lima gapura (pintu gerbang) yang menjadi simbol.
"Antara lain gapuro munggah, poso, ngamal, madep, dan paneksen. Gapura Munggah itu adalah simbol dari rukun Islam yang kelima, yaitu Haji," ia menjelaskan.
Pengunjung atau peziarah setelah melewati Gapuro Munggah akan melewati Gapuro Poso (Puasa). "Letaknya ada di sebelah selatan masjid. Gapuro Poso ini memberikan suasana pada bulan Ramadan," tutur dia.
Setelah pengunjung melewati Gapuro Poso, maka akan masuk ke halaman masjid. "Dari halaman ini tampak bangunan masjid yang megah dengan menara yang menjulang tinggi Menara ini masih asli, sebagaimana dibangun oleh Sunan Ampel pada abad ke 14," kata Hasan.
Pengunjung peziarah juga akan menemui Gapuro Ngamal (Beramal). Gapura ini menyimbolkan rukun Islam yang ketiga, yaitu zakat. Di sini orang dapat bersedekah dan hasil yang diperoleh dipergunakan untuk perawatan dan biaya kebersihan masjid dan makam," ucap dia.
Kemudian ada lagi gapura berikutnya yaitu Gapuro Madep yang letaknya persis di sebelah barat bangunan induk masjid.
"Gapura ini menyimbolkan rukun Islam yang kedua, yaitu salat dengan menghadap (madep) ke arah kiblat," kata Hasan.
Dia menunjukkan gapura yang kelima, namanya Gapuro Paneksen. "Gapura ini merupakan simbol dari rukun Islam yang pertama, yaitu Syahadat. Paneksen berarti ‘kesaksian‘, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah," Hasan menerangkan.
Nur Hadi, pengunjung asal Pondok Pesantren Salafiah Syafiiyah, Wonokromo, Gondang, Tulungagung, Jawa Timur mengatakan berkunjung ke Masjid Sunan Ampel bertujuan untuk ziarah.
"Tentunya ada yang mempercayai bisa segera hajatnya terkabul, tetapi itu semua kembali pada keyakinan masing masing umat Islam dan peziarah itu sendiri," ujar Nur Hadi yang sudah sejak Ashar berada di Masjid Sunan Ampel bersama satu unit bus rombongan pondok.
Menurut dia malam ganjil adalah waktu yang tepat untuk perburuan lailatul qadar. Ibadah pada malam itu diyakini laksana ibadah selama seribu bulan hingga disebutlah malam lailatul qadar laksana malam seribu bulan.
Advertisement