Liputan6.com, Jakarta Generasi Indonesia di masa depan dinilai mengkhawatirkan dan sangat mencemaskan. Mereka menjadi generasi yatim. Ditambah lahirnya monster berwujud manusia.
"Orangtua dengan pribadi yang lengkap secara spiritual dan emosional susah dicari," kata Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar saat menyampaikan khotbah Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu (6/7/2016).
Advertisement
Nasaruddin mencontohkan, dari rata-rata 2 juta pasangan menikah yang terjadi setiap tahunnya, 12 persen atau sekitar 200 ribu pasangan bercerai. Sedangkan 80 persen dari perceraian tersebut adalah pasangan usia rumah tangga muda.
Belum lagi, dia melanjutkan, dunia pendidikan Indonesia yang semakin hancur dan jalan di tempat. Pendidikan hanya mementingkan kecerdasan saja tanpa kesantunan dan pendidikan moral yang sudah hilang.
"Jika ilmu dipisahkan dari agama, dikhawatirkan yang akan lahir adalah monster berbentuk manusia," ia memperingatkan.
Penafsiran agama, menurut dia, kini malah jadi bahan dagangan dan dangkal. Misalnya pemahaman toleransi yang dilakukan oleh bangsa ataupun pemerintah yang malah membuat kekeruhan. Ia mengecam kesalahan fatal masyarakat dan pemerintah dalam memaknai serta mengamalkan agama.
"Atas nama kebebasan beragama, aliran sesat malah ditoleransi. Atas nama hak asasi manusia, homoseksual dan lesbian dihalalkan. Atas nama transparansi, kehidupan pribadi orang lain menjadi konsumsi publik. Atas nama demokrasi, kesantunan publik ditabrak," kritik Nasaruddin.
Untuk memperbaiki hal ini, menurut dia, harus dimulai dari lingkungan paling kecil. Tanpa harus saling menyalahkan dan mencari pembenaran.
"Kita harus cemas dan mempersiapkan diri. Jangan meninggalkan generasi yang lemah. Jangan hanya khawatir soal kesejahteraan saja, namun juga moral, kepribadian, kesalehan sosial, dan keilmuan yang mumpuni," anjur Nasaruddin.
Generasi Qurani
Mengenai bagaimana mempersiapkan generasi bangsa yang lebih tangguh, kompetitif, lebih produktif, dan hidup di bawah bayang-bayang Alquran, menurut dia, dengan melahirkan generasi Qurani.
Generasi Qurani yang dimaksud Nasaruddin, bukan hanya generasi yang rajin ke masjid, beribadah formal serupa puasa dan amaliah pribadi lainnya. Sebab beragama bukan soal ibadah dengan Tuhan saja.
"Ukuran keberhasilan keberagamaan ternyata diukur dengan hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan. Orang yang hanya mengutamakan ibadah ritual tanpa melahirkan makna dan efek sosial ternyata tak artinya. Segalanya baru berarti setelah diuji di dalam realitas kehidupan," ucap Nasaruddin.
Generasi Qurani, menurut dia, adalah generasi yang tidak hanya cerdas secara ilmu, tetapi juga memiliki spiritual yang baik. Ada tiga hal penting yang mempengaruhi terciptanya Generasi Qurani. Pertama, lingkungan keluarga. Kedua, lingkungan sekolah pendidikan. Ketiga, lingkungan masyarakat.
"Sudah saatnya kita memikirkan peta jalan generasi seperti apa yang kita inginkan di masa depan. Sudah kewajiban kita mempersiapkan generasi muda dan generasi masa depan. Ilmu agama bukannya membuat generasi menjadi kolot dan terbelakang, malahan lebih progresif," demikian ucap Nasaruddin.