Uniknya Adonan Bali dan Islam di Desa Muslim Pegayaman

Ketika Bali dan Islam bertemu di Pegayaman, lahirlah nama-nama seperti Ni Wayan Fatimah atau Ketut Abdur Rochman.

oleh Liputan6 diperbarui 08 Jul 2016, 06:00 WIB
Uniknya Adonan Bali dan Islam di Desa Muslim Buleleng

Liputan6.com, Buleleng - Bali identik dengan Hindu yang merupakan agama mayoritas warga setempat. Maka tradisi dan ritual Hindu mewarnai suasana di Pulau Dewata itu, dari banjar-banjar (dusun) hingga tingkat provinsi. Namun dalam lingkungan seperti itu, terselip sebuah desa yang kental dengan suasana Islam, yakni di Desa Pegayaman.

Sepintas desa itu serupa saja dengan desa-desa lain di Bali. Beberapa ratus meter dari pintu gerbang, terdapat tulisan besar-besar "Selamat Datang di Desa Pegayaman", di jalan raya menghubungkan Singaraja dan Bedugul, Kabupaten Buleleng, sekitar 80 kilometer di utara Denpasar.

Perbedaan Pegayaman dengan desa lain di Bali tampak jelas saat Idul Fitri 1437 Hijriah pada Rabu 6 Juli 2016. Hal pertama yang dijumpai saat memasuki Pegayaman adalah sekumpulan anak-anak muda di pinggir jalan usai salat di masjid yang tersebar di desa itu.

Sekitar 10 bocah laki-laki dan perempuan langsung mendekat saat kendaraan diparkir di halaman komplek Pesantren Al Iman, di Desa Pegayamanan yang ada di ketinggian dan berhawa sejak itu.

Meski baru pertama kali bertemu, tanpa dikomando mereka langsung mengantre bersalaman memberikan ucapan selamat hari Lebaran. Sebagian dari mereka juga masih menggunakan busana tertutup usai menjalankan salat Idul Fitri di musala yang ada di kompleks pesantren itu.

Sementara beberapa orang perempuan dan laki-laki dewasa, secara ramah juga kemudian mengulurkan tangan sebagai tanda selamat datang dan mengucapkan salam, tanpa menanyakan maksud kedatangan tamu.

Tak lama berselang, muncul seorang pria berusia sekitar 70 tahun berperawakan sedang berpakaian rapi. Dia adalah Kepala Pondok Pesantren Al Iman, Nengah Surudin, yang menyambut kunjungan silaturahim dengan hangat.

Desa Pegayaman, dengan penduduk sekitar 100 kepala keluarga itu, memang lain dari yang lain di Bali, karena hampir 100 persen warganya asli etnis Bali namun memeluk agama Islam. Selama ini agama yang dianut secara dominan di Pulau Bali adalah Hindu Bali.

Menurut sejarah, seperti dituturkan Surudin, perbedaan agama pada warga Desa Pegayaman tidak terlepas dari perjalanan sejarah Kerajaan Buleleng yang mengutus prajurit ke Banyuwangi dan kemudian ternyata tertarik dengan ajaran Islam di ujung timur Pulau Jawa itu.

Di Desa Pegayaman, nama-nama dan aturan penamaan orang khas Bali, semisal Putu, Nengah, Gede, Wayan, Ketut, dan lain-lain biasa berpadu dengan nama-nama islami sebagai nama warganya.

Sebagai keturunan asli Bali, tapi menganut Islam, nama masyarakat pun dikombinasikan antara nama Bali yang notabene identik dengan Hindu dan nama Islam, seperti halnya Nengah Surudin. Untuk perempuan ada juga misalnya Ni Wayan Fatimah.


Nama-nama Unik Bali Islam Pegayaman

Kepala Pondok Pesantren Al Iman, Nengah Surudin, menambahkan contoh penamaan orang Pegayaman. Di keluarga Ketut Samaudin (69 tahun) yang memiliki delapan anak misalnya, tercatat nama-nama Bali Islam yakni Wayan Wahyudi, Nengah Cahyadi, Nyoman Rosida, Ketut Rahmadi, Ketut Mutoharoh, Ketut Muarifah, Ketut Ma'ida, dan Ketut Abdur Rochman.

Yang menarik, warga Pegayaman ternyata hanya menggunakan empat nama sesuai urutan, yaitu Wayan, Nengah, Nyoman, dan Ketut. Dalam adat Bali, ini disebut catur warga, yang bisa juga menjadi Putu (Wayan dan khusus untuk laki-laki adalah Gde), Made (Nengah), Nyoman, dan Ketut.

Jika ada keluarga yang memiliki anak lebih dari empat anak seperti hanya Samaudin, maka nama anak-anak berikutnya tetap Ketut, tidak kembali pada nama anak pertama seperti pada umumnya. Penyandang nama Ketut setelah anak keempat lazim disebut sebagai ketut cenik (ketut kecil).

"Bagaimana pun kami adalah orang Bali dan harus tetap menjaga tradisi nama berdasarkan urutan nama itu," kata Nengah Surudin seperti dilansir Antara.

Hal lain yang cukup unik dan sampai sekarang masih tetap diberlakukan di Desa Pegayaman adalah waktu salat tarawih yang mulai pukul 23.00 WITA, sementara salat Idul Fitri baru dimulai pukul 10.00 WITA.

"Untuk salat tarawih dan Idul Fitri, kami mempunyai waktu tersendiri dan berbeda dengan daerah lain umumnya, yaitu berdasarkan 'zona waktu Desa Pegayaman'," kata Surudin.

Perbedaan waktu salat itu ternyata berdasarkan pada sejarah dan kondisi topografis setempat. Warga desa itu tinggal berpencar di daerah berbukit sehingga memerlukan waktu cukup lama mencapai masjid.

Ketut Jamal, warga lain Desa Pegayaman yang juga salah satu pendiri Pondok Pesantren Al Iman, menuturkan, keberadaan desanya telah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Buleleng dan juga Bali pada umumnya.

Selain Idul Fitri dan Idul Adha, hari besar Islam yang dirayakan secara meriah adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad. Bahkan Maulid Nabi lebih meriah karena warga Pegayaman yang merantau akan berusaha sebisanya untuk pulang berkumpul dengan keluarga, membuat suasana desa itu lebih hidup.

"Kami tetap menjaga tradisi dan adat-istiadat Bali, sepanjang tradisi itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam," kata Jamal. Warga Pegayaman tetap berbahasa Bali dialek Buleleng yang terkenal lugas, laiknya dialek Suroboyo-an dalam bahasa Jawa.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya