Liputan6.com, Jakarta - Manajer Perizinan Agung Sedayu Group, Saiful Zuhri alias Pupung memberi kesaksian dalam sidang terdakwa Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja.
Dalam sidang ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan transkrip rekaman telepon antara Pupung dengan mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi.
Dalam transkrip yang dibacakan jaksa, terungkap kalau Pupung menjanjikan uang kepada anggota DPRD lain. Janji itu dilontarkan sesuai perintah bos Pupung.
"Saya sampaikan perintah bos, masalah anggota DPRD yang tidak mau datang, yang plintir-plintir, diminta untuk dibereskan oleh Sanusi. Soal pembagian belakangan. Lalu Sanusi bilang oke," ujar Jaksa Ali Fikri membacakan transkrip rekaman telepon dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu 13 Juli 2016.
Jaksa kemudian menanyakan, bos yang dimaksud itu apakah Sugianto Kusuma alias Aguan, Chairman PT Agung Sedayu Group. Pupung membenarkan, bos yang dimaksud itu Aguan. Namun dia membantah, perintah janji memberi uang itu dari Aguan.
Pupung mengaku, dirinya hanya spontan membawa nama-nama Aguan dan kemudian memberi janji pemberian uang kepada Sanusi. Lantaran, dirinya terus didesak oleh Aguan tentang kapan rapat paripurna pembahasan raperda reklamasi dimulai. Apalagi, dia mendapat tugas untuk terus memantau perkembangan pembahasan raperda tersebut.
"Saya dapat tugas dari Pak Aguan bagaimana paripurna bisa cepat. (Janji uang dan perintah bos) itu saya bluffing saja," kata Pupung.
Advertisement
Rapat paripurna yang dimaksud itu, yakni pembahasan Rancangan Perda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP). Draf raperda tersebut sampai sekarang belum tuntas dan belum diputuskan oleh DPRD DKI.
Putar Rekaman Sanusi
Jaksa Penuntut Umum (JPU) memutar rekaman pembicaraan telepon dalam persidangan lanjutan terdakwa Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja. Rekaman telepon yang diputar, yakni percakapan Manajer Perizinan PT Agung Sedayu Group, Saiful Zuhri alias Pupung.
Dalam rekaman itu, di ujung telepon Pupung berbicara dengan Ketua D DRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi yang merupakan tersangka pada kasus ini. Percakapan telepon itu terjadi pada 17 Maret 2016.
"Gini Bang, jadi kalau misalnya nanti jam 14.00 lewat tidak ada apa-apa, saya lapor bos (Aguan), supaya dia bisa tekan Pak Prasetyo (Prasetyo Edi Marsudi) lagi," kata Pupung kepada Sanusi, dalam rekaman telepon yang diputar jaksa di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu 13 Juli 2016.
Percakapan itu bagian dari perbincangan Pupung dengan Sanusi. Keduanya membahas perihal percepatan pembahasan Rancangan Perda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).
Dalam percakapan tersebut, Pupung diduga menjanjikan uang kepada sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta. Pupung memberi janji agar anggota DPRD DKI Jakarta menghadiri rapat paripurna pembahasan RTRKSP. Tujuannya, jumlah anggota rapat dapat memenuhi syarat pengambilan keputusan.
Di rekaman selanjutnya, Sanusi mengatakan kepada Pupung, kalau Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi membuat kacau pembagian uang kepada anggota DPRD lain. Dalam hal ini, Prasetyo yang menjadi eksekutor pembagian 'kue' terkait pembahasan raperda reklamasi ini.
"Iya, pembagiannya benar-benar kacau balau deh, dia (Prasetyo) makannya kebanyakan. Maksud gue banyak banget, bukan kebanyakan, ngerti enggak lo, kayak enggak ada tempat lain," kata Sanusi kepada Pupung dalam rekaman percakapan telepon.
Meski demikian, Pupung yang hadir dalam sidang ini sebagai saksi membantah pembagian yang dimaksud dalam rekaman telepon itu adalah bagi-bagi uang. Ia mengaku tidak mengetahui arti pembicaraan Sanusi yang menyinggung masalah pembagian oleh Prasetyo Edi.
Seperti diketahui, Jaksa mendakwa Presdir PT APL, Ariesman Widjaja menyuap Anggota DPRD DKI, M Sanusi sebesar Rp 2 miliar. Uang diberikan melalui anak buah Ariesman, Trinanda Prihantoro.
Uang diberikan sebagai imbalan karena Sanusi mampu mempengaruhi pasal soal tambahan kontribusi yang tercantum dalam Raperda RTRKSP. Awalnya, Ariesman menginginkan agar tambahan kontribusi sebesar 15% dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual itu dihilangkan, namun Sanusi tak bisa menyanggupinya.
Akhirnya, Ariesman menjanjikan Rp 2,5 miliar kepada Sanusi agar tambahan kontribusi itu dimasukan dalam pasal penjelasan dengan menggunakan konversi. Sanusi pun setuju dan menerima janji pemberian uang 'sumpel' Rp 2,5 miliar itu.
Atas perbuatannya, Ariesman didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.