Liputan6.com, Jakarta - Globalisasi membuat keadaan setiap orang di berbagai belahan dunia tanpa ada batasan. Pertumbuhan perdagangan global pun belum pulih seperti sebelum krisis keuangan 2008. Pertumbuhan ekonomi pun melambat hingga sentuh level terendah pada krisis keuangan tahun 2008.
Globalisasi tanpa batasan membuat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa berdampak tak langsung ke negara lainnya. Faktor terbaru yang mempengaruhi ekonomi global saat keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa dalam referendum pada 23 Juni 2016. Keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa atau Britain Exit (Brexit) itu, menurut manajer keuangan Bill Gross merupakan tanda berakhirnya globalisasi.
Pernyataan Gross tidak sepenuhnya salah. Para orang kaya Barat seringkali mengaitkan globalisasi dengan keadaan di mana setiap negara saling terkait dalam ikatan perdagangan, dan mungkin saja ke depannya ikatan ini akan menghancurkan negara satu sama lain.
Pada saat ini, Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa meyakini dampak globalisasi akan menghancurkan keadaan negara mereka, sehingga mereka berniat menutup diri dari globalisasi. Kabarnya Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa akan melakukan isolasi, keadaan di mana negara berdiri sendiri, tidak terkait satu sama lain, yang tentunya tidak hanya menganggu globalisasi, tapi menghancurkannya.
Baca Juga
Advertisement
Kenyatannya, berdasarkan laporan dari Bloomberg, seperti ditulis Jumat (15/7/2016) isu Brexit akan menganggu globalisasi tidak benar. Brexit memang menganggu ekonomi negara-negara barat, tetapi hal ini justru menyokong negara barat untuk mempererat hubungan dengan negara-negara Asia. Hal ini disebabkan perekonomian di negara-negara Asia justru semakin menguat.
Perekonomian di negara Asia memang sedang meningkat sejak 2 tahun lalu. World Trade Organization (WTO) menjelaskan jumlah perdagangan ekspor di dunia justru didominasi negara-negara berkembang sebanyak 52 persen pada 2014, meningkat dari 38 persen di tahun 1995. Perdagangan antara negara China dan India saja mencapai US$ 72 miliar atau sebesar Rp 941 triliun (asumsi kurs Rp 13.074 per dolar Amerika Serikat) pada 2014 ini.
Di berbagai belahan dunia, banyak negara sudah mulai melakukan perjanjian perdagangan bebas sebagai bagian dari proses globalisasi. Walaupun ada anggapan dari bakal calon presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan perjanjian perdagangan besar Amerika Utara adalah bencana, dan fenomena Brexit yang meninggalkan pasar perdagangan terbesar kedua di Eropa, negara lain justru meningkatkan perjanjian perdagangan bebas.
China mendorong agar tumbuhnya zona perdagangan bebas Asia, terciptanya Masyarakat Ekonomi Asean, dan rancangan pasar bebas benua Afrika, menjadi bukti bahwa proses globalisasi masih terus berlangsung. (Aldo Lim)