Kudeta Turki 'Mengancam' Perang Global Melawan ISIS?

Kendati gagal, namun kudeta militer Turki ternyata berdampak terhadap perang melawan ISIS. Bagaimana bisa?

oleh Khairisa Ferida diperbarui 19 Jul 2016, 18:50 WIB
Pendukung Presiden Turki, Tayyip Erdogan mengibarkan bendera nasional mereka ketika berkumpul di Taksim Square, pusat kota Istanbul, Sabtu (16/7). Ratusan warga turun ke jalan untuk merayakan kegagalan kudeta militer di Turki. (REUTERS/Huseyin Aldemir)

Liputan6.com, Istanbul - Turki merupakan mitra penting Amerika Serikat (AS) dalam perang melawan ISIS. Dan kudeta militer yang menimpa negara pimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan pada Jumat 15 Juli lalu telah membawa dampak signifikan terkait serangan terhadap kelompok teroris itu.

Pasalnya, aset utama AS dalam perang melawan ISIS, Pangkalan Udara Incirlik yang terletak di bagian selatan Turki atau hanya 60 mil dari perbatasan Turki - Suriah terpaksa berhenti beroperasi.

Pada Sabtu 16 Juli, otoritas militer Turki telah menutup wilayah udara di sekitar Incirlik sehingga AS tidak bisa melancarkan misi serangan udara terhadap ISIS dari lokasi tersebut.

"Para pejabat AS bekerjasama dengan Turki akan melanjutkan operasi udara dari sana (Incirlik) sesegera mungkin," ujar Juru Bicara Pentagon, Peter Cook seperti dilansir CNN, Selasa (19/7/2016).

Seorang pejabat Pentagon lainnya mengatakan, mereka tengah mempertimbangkan untuk melancarkan serangan udara dari pangkalan udara militer lain di kawasan tersebut demi mengoperasikan drone dalam pertempuran melawan teroris ISIS.

Kabar lain menyebutkan bahkan setelah Incirlik kembali dibuka nantinya, militer AS kemungkinan masih enggan untuk memulai kembali operasi hingga mendapat kepastian siapa yang mengendalikan angkatan bersenjata Turki. Hingga saat ini belum dapat dikonfirmasi kapan tepatnya Pangkalan Udara Incirlik akan kembali beroperasi.

Di tengah ketidakpastian itu muncul isu lain yang memanaskan hubungan dua sekutu ini. Presiden Erdogan mendesak AS untuk segera mengekstradisi Fethullah Gulen, seorang ulama Turki yang bermukim di Pennsylvania, AS, karena ia dituding mendalangi kudeta.

"Setiap negara yang melindungi Fethullah Gulen akan menjadi musuh bagi Turki," ujar Perdana Menteri Turki, Binali Yildirim seperti dilansir Daily Express.

Menteri Luar Negeri AS, John Kerry menanggapi permintaan Turki. Ia menegaskan tudingan itu harus disertai dengan bukti sementara di sisi lain Gulen telah membantah dirinya terlibat dalam kudeta yang berakhir dengan kegagalan itu.

Posisi dan Peran Strategis Turki

Turki merupakan anggota NATO sejak 1952. Negara ini diketahui memiliki postur angkatan bersenjata kedua terbesar setelah AS dan satu dari dua negara yang memiliki mayoritas penduduk muslim (selain Turki terdapat pula Albania) dalam keanggotaan NATO.

Negeri Paman Sam dan Turki pun memiliki kedekatan dalam hubungan militer di mana AS memiliki sejumlah instalasi militer di negeri itu, termasuk di antaranya Stasiun Udara Izmir yang juga menjadi markas NATO di bawah pimpinan Letjen Darryl Williams dan Pangkalan Udara Incirlik.

Letak geografisnya membuat Turki menjadi garda depan dalam perang melawan ISIS, meski di lain sisi ia menjadi 'tempat transit' bagi calon anggota kelompok teroris itu.

Dalam pertemuan puncak NATO di Warsawa, Polandia, organisasi pertahanan itu mengumumkan akan mengerahkan pesawat pengintai AWACS ke Turki sebagai upaya memerangi kelompok teroris.

Tak lama usai kudeta, perwira militer NATO yang merupakan seorang jenderal AS, Curtis Scapparotti menegaskan kembali pentingnya hubungan AS dan Turki.

"Turki adalah sekutu NATO yang kuat dan mitra penting bagi koalisi internasional dalam perang melawan ISIS," ujar Jenderal Scapparotti.

Pentingnya stabilitas Turki bagi AS terlihat setelah Presiden Barack Obama segera mengadakan pertemuan darurat di Gedung Putih untuk membahas kudeta militer di Turki. Secara resmi AS menyatakan dukungan kuatnya terhadap pemerintahan sipil yang terpilih secara demokratis.

Obama juga menekankan untuk menghadapi tantangan kontraterorisme dibutuhkan kerjasama berkelanjutan dengan Turki.

Perlu diingat pula, Turki merupakan 'rumah' bagi jutaan pengungsi yang mengincar kehidupan layak di Benua Eropa setelah konflik tak berkesudahan melanda negara mereka.

Setidaknya terdapat kurang lebih 2,5 juta jiwa pengungsi dari berbagai negara yang ditampung di Turki.

Kudeta militer disebut rentan memicu ketidakstabilan di Turki sehingga aliran pengungsi dikhawatirkan akan membanjiri Eropa, sebuah upaya yang selama ini dicegah mati-matian oleh UE.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya