Liputan6.com, London - Pada Abad ke-5 sebelum Masehi, sejarawan Yunani Herodotus menulis tentang adat dan tradisi yang ia saksikan sendiri ketika berada di Babilonia.
Salah satu kebiasaan kontroversial yang ia laporkan adalah adanya marriage market atau pasar pernikahan. Bukan perlengkapan perkawinan yang dijajakan di sana, melainkan calon istri.
Advertisement
Di pasar tersebut, perempuan muda dikumpulkan dan pelelang meminta mereka untuk berdiri satu per satu kemudian menjualnya. Keperawanan menjadi syarat, jarang bahkan mungkin tak ada wanita yang pernah menikah disertakan dalam praktik itu.
Tulisan Herodotus itu menginspirasi seorang pelukis Abad ke-19 asal Inggris, Edwin Long, untuk menghasilkan karya terkenalnya 'The Babylonian Marriage Market'.
Long membutuhkan waktu hingga dua tahun untuk menyelesaikannya dan diresmikan di pameran musim panas Royal Academy pada 1875. Tahun berikutnya, karya seni itu dijual seharga 6.000 guinea, harga tertinggi atas karya seniman yang masih hidup.
The Babylonian Marriage Market menggambarkan perempuan yang sedang dilelang akan diambil sebagai pengantin, bukan sebagai budak. Secara spesifik, Long terinspirasi dari 'Book 1' yang ditulis Herodotus.
"Setahun sekali, di setiap desa, ini yang biasa mereka lakukan. Mereka mengumpulkan seluruh wanita muda yang cukup umur untuk menikah ke sebuah tempat. Kerumunan pria pun akan membentuk lingkaran di sekitarnya," tulis Herodotus dalam Book 1.
"Seorang pelelang meminta wanita itu berdiri satu per satu dan menjualnya. Ia mulai (melelang) wanita paling menarik, dan ketika ia sudah diambil dengan harga baik, maka ia akan mulai melelang perempuan menarik berikutnya," jelasnya.
Di dalam tulisan itu juga dijelaskan, perempuan tersebut dijual untuk dijadikan istri. Seorang pria kaya akan berusaha membeli wanita yang paling cantik untuk mengalahkan lainnya.
Sementara itu penulis ‘Historic Men and Scenes’ (1898), Franklin Edson Belden, juga pernah menulis tentang marriage market, seperti dikutip dari Ancient Origins, Kamis (21/7/2016).
"Masyarakat Babilonia sangat tamak untuk meraih 'barang' bernilai tinggi. Apapun dapat dijual untuk mendapatkan uang," tulis Belden.
"Setiap wanita, sekali dalam seumur hidupnya, harus tampil di depan kuil Beltis, karena dengan cara ini banyak orang asing datang ke kota. Dalam kesempatan biasa, para gadis akan dijual dalam sebuah lelang di mana para pangeran dan orang tak bermoral akan tertarik ke tempat itu."
Dalam tulisan itu juga dijelaskan, ayah dan anak laki-laki perempuan itu akan bersiap untuk menerima uang hasil barter untuk kesenangan mereka. Belden juga menyebut bahwa lorong-lorong istana menjadi harem poligami.
Detail Lukisan Edwin Long
Di samping tulisan Herodotus, Long juga memeriksa artefak kuno untuk melukis karya-karyanya. Selama ia menyelesaikan lukisannya, ekspedisi arkeologi yang sedang dilakukan di Mesopotamia dan artefak dari daerah tersebut dibawa ke London.
Karena Long mendapat akses ke koleksi Bangsa Assyria di British Museum, ia dapat memasukkan detail objek dari artefak kuno ke dalam lukisannya. Hal itu membuatnya dapat menghasilkan sesuatu yang dinilai seperti kehidupan nyata Babilonia, dibanding dengan pelukis sebelumnya.
Namun, lukisan 'The Babylonian Marriage Market' dapat ditafsirkan menjadi beberapa cara. Salah satunya menduga, lukisan tersebut dibaca sebagai refleksi halus pasar pernikahan versi Era Victoria -- pada pembukaan pameran, marriage market versi Inggris juga diadakan.
Pada masa itu, masyarakat Inggris melakukan perkumpulan, di mana banyak dari mereka yang mendapat pasangan.