Liputan6.com, Palembang - Hari Anak Nasional diperingati hari ini. Di sela keceriaan terselip kekhawatiran. Kasus kekerasan dan ancaman pada kesehatan anak-anak Indonesia susul menyusul mewarnai pemberitaan. Di dalamnya termasuk kasus obesitas yang menimpa dua anak Indonesia yang berusia sama, yakni Arya Permana asal Karawang dan Rizki Rahmat Ramadhan asal Palembang, Sumatera Selatan.
Arya Permana baru saja merasa senang pulang ke kampung halaman. Tenaga medis Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung tak kuasa membendung keinginan anak kelas 4 SDN Cipurwasari yang bosan tinggal di ruang perawatan. Kepada dokter dan orangtua, Arya mengaku ingin segera bersekolah dan bertemu teman-teman.
Advertisement
Arya akhirnya kembali ke sekolah pada awal pekan ini. Berkaus hijau, Arya langsung disambut kawan-kawannya di sekolah. Meski sempat senang, bocah obesitas berbobot 186 kilogram itu akhirnya ngambek dan pulang sebelum pelajaran dimulai pada hari pertama sekolah.
Namun, kekesalannya menguap pada keesokan hari dan mulai bersekolah kembali. Ia bahkan sempat bermain bola meski napasnya ngos-ngosan.
Sementara itu, kisah sedih baru menghampiri Rizki pada Selasa, 19 Juli 2016. Ia terpaksa dibawa kedua orangtuanya ke Rumah Sakit Muhammad Husein (RSMH) Palembang, karena mengalami gangguan kesehatan. Padahal, bobot Rizki hampir 70 kilogram lebih ringan dari Arya.
Arya bahkan dikabarkan jatuh koma pada Jumat, 22 Juli 2016. Anak bungsu dari tujuh bersaudara itu mengalami tidur panjang dan sulit dibangunkan. Para dokter langsung membawa Rizki ke ruang ICU RSMH Palembang. Tangisan keluarga pecah saat anak kelas 6 SD ini dibawa ke ruang ICU.
Saat Liputan6.com mencoba berkomunikasi dengan keluarga korban, tidak ada satu orang pun yang bisa dimintai keterangan. Isak tangis terdengar jelas di depan ruang ICU. Hanya Lia (40), ibu Rizki yang mau buka suara.
"Anak saya mengalami koma," ujar Lia.
Selama di ruang ICU, anggota keluarga Rizki tampak berlalu lalang sambil menangis. Hingga pukul 12.20 WIB, keluarga Rizki masih menunggu kabar terbaru dari penanganan intensif yang dilakukan di ruang ICU.
Menurut Yulius Anzar, spesialis anak dan salah satu tim Dokter Penanggung Jawab (DPJB) pasien Rizki, kondisi bocah berbobot 119 kg sudah stabil karena dibantu oleh mesin ventilator. Meski begitu, Rizki masih belum sadar.
"Yang jelas oksigen sudah disuplai ke otak dan paru-paru dibantu juga memompa melalui mesin ventilator. Nanti perlahan pasien akan bangun. Tim ICU juga sudah menggunakan Glasgow Coma Scale (GSC) untuk menilai tingkat kesadarannya," kata Yulius.
Sebelum masuk ke ICU, Rizki gelisah sehingga langsung diperiksa dokter. Terlihat ada penurunan kesadaran dan langsung dibawa ke ICU. Tabung oksigen 4 liter yang menyuplai oksigen ke tubuh bocah obesitas ternyata tidak bisa membantu paru-paru memompa jalannya suplai oksigen.
"Sejak masuk beberapa hari lalu, saya sudah melihat kondisi pasien belum stabil. Jadi tidak boleh dilepas dari pantauan," kata Yulius.
Derajat Keparahan
Sama-sama mengalami obesitas, kasus yang dialami Arya nyatanya berbeda dari kasus yang dialami Rizki. Meskipun Arya berbobot lebih berat dari Rizki, ia tidak mengalami Obstructive Sleep Apnoea (OSA) seperti yang dialami Rizki.
Menurut Yulius, tumpukan lemak Arya menonjol keluar, berbeda dengan tumpukan lemak Rizki.
"Beda kasusnya dengan obesitas di Bandung yang tidak ada OSA. Kalau tumpukannya keluar yang tidak apa-apa, tapi Rizki ini tumpukan lemaknya masuk ke dalam dan RSMH Palembang baru pertama kali menangani kasus obesitas seperti ini," ujar Yulius kepada Liputan6.com, seusai keluar dari ruang ICU RSMH Palembang.
OSA sendiri adalah sindrom yang terjadi saat tidur, suplai oksigen berhenti sementara dan seperti tercekik (asfiksia). Rizki sering mengalami OSA ringan sebelum dirawat ke RSMH Palembang.
Sindrom ini diakibatkan adanya penumpukan lemak di saluran pernapasan. Ciri-cirinya adalah sering mengorok untuk kondisi tubuh yang gemuk. Selain itu, ada juga benjolan amandel yang semakin mempersempit jalannya pernapasan Rizki. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan faktor genetik.
Sementara, kondisi jantung anak kelas 6 SD itu belum terganggu oleh tumpukan lemak. Saat ini, bahkan sudah ada pelebaran ruang di daerah jantung.
"Yang jelas kita berharap secepat mungkin pulih. Kalau pasien tidak butuh alat pernapasan lagi, baru bisa dipindahkan dari ruang ICU. Kita belum bisa memastikan kapan pasien sadar, tergantung individunya juga," kata Yulius.
Ada 24 dokter spesialis yang diturunkan untuk membantu penanganan kasus obesitas Rizki, seperti dokter ahli gizi, jantung, paru-paru, psikiater, dan lainnya. Sementara, perawatan Arya Permana di RSHS sebelumnya menurunkan 13 dokter.
Meski begitu, Arya juga mengalami kesulitan tidur beberapa hari sebelum dibawa ke rumah sakit. Arya juga berisiko mengalami penyakit serius jika berat badannya tidak diturunkan secara drastis lewat diet ketat dan latihan fisik.
"Kalau komplikasi kegemukan yang kita sebut sebagai metabolic syndrom, memicu hipertensi, diabetes lalu stroke. Kalau sudah stroke kan kemana-mana, gangguan ginjal, penyakit jantung dan lain-lain. Itu bisa fatal," ujar Kepala Tim Dokter Penanganan Pasien Obesitas RSHS Bandung, Julistyo TB Djais, di Bandung, Jabar, beberapa waktu lalu.
Julistyo menerangkan bobot Arya itu, selain memicu penyakit serius, juga bisa merusak susunan kerangka tubuh bocah. Dengan proporsi tubuh saat ini, sambung dia, kemungkinan besar terdapat susunan tulang yang sudah tidak sesuai dengan tempatnya.
"Dengan beban seperti ini dan ditopang oleh kerangka tulang normal, kemungkinan besar terjadi kerusakan. Nanti kita akan teliti," kata Djais. Belakangan, hasil evaluasi kondisi fisik Arya masih belum keluar hingga kini.
Advertisement