Penembakan Munich Picu Pengetatan Hukum Senjata Api Jerman

Hingga saat ini pihak penyidik masih menyelidiki bagaimana pelaku penembakan Munich yang masih remaja memperoleh senjata api.

oleh Citra Dewi diperbarui 25 Jul 2016, 07:20 WIB
Seorang polisi berjaga di sebuah jalan di dekat pusat perbelanjaan Olympia Einkaufzentrum (OEZ) di Munich, Jerman (22/7). Penembakan ini hanya berselang tiga hari setelah terjadinya penyerangan di kereta api Jerman. (AFP PHOTO/Christof Stache)

Liputan6.com, Munich - Politisi senior Jerman menyerukan kontrol ketat atas penjualan senjata api dalam menanggapi penembakan Munich pada Jumat, 22 Juli 2016.

Wakil Kanselir Jerman Sigmar Gabriel mengatakan, segala kemungkinan harus dilakukan untuk membatasi akses senjata api.

Pelaku penembakan Munich, Ali David Sonboly (18 tahun), menembak mati sembilan orang sebelum membunuh dirinya sendiri. Ia memiliki pistol jenis Glock dan 300 butir peluru.

Menteri Dalam Negeri Thomas de Maiziere, yang mengunjungi tempat penembakan, mengatakan bahwa ia berencana meninjau hukum yang mengatur tentang senjata api.

"Kami harus terus melakukan semua hal yang kami bisa untuk membatasi dengan ketat akses senjata api," ujar Gabriel.

Ilustrasi Tindak Kejahatan dengan Menggunakan Senjata Api (iStockphoto)​

Dia mengatakan, pihak berwenang sedang menyelidiki bagaimana Sonboly yang memiliki dua kewarganegaraan, Jerman-Iran, memperoleh akses senjata.

"Kontrol senjata merupakan isu penting," imbuh Gabriel.

Seorang anggota Persatuan Demokrat Kristen Jerman, de Maiziere, mengatakan kepada harian Bild am Sonntag bahwa ia telah berencana mengkaji hukum senjata api dan mencari perbaikan yang diperlukan.

Menurutnya, sangat penting untuk mengetahui bagaimana pria bersenjata memperoleh akses senjata api.

Sementara itu Menteri Dalam Negeri Bavaria, Jaochim Herrmann, menyerukan kemungkinan menerjunkan tentara dalam keadaan darurat ke depannya, seperti serangan teroris.

Hukum Senjata Api di Jerman

Menurut Library of Congress Amerika Serikat, Jerman memiliki sejumlah pengawasan senjata api paling ketat di dunia. Demikian seperti dikutip dari BBC, Senin (25/7/2016).

Perundang-undangan jauh diperketat setelah penembakan di sekolah Erfurt pada 2002, yang menyebabkan 16 orang tewas, serta serangan Winnenden pada 2009 dengan jumlah korban sama.

Di Jerman, pembeli berumur kurang dari 25 tahun harus menjalani tes kejiwaan sebelum dapat memperoleh senjata api.

Senjata otomatis dilarang, sementara senjata api semi-otomatis dilarang untuk apa pun selain berburu atau menembak untuk perlombaan.

Menurut majalah Spiegel, meskipun memiliki kontrol ketat, Jerman menjadi salah satu negara dengan tingkat kepemilikan senjata tertinggi pada 2013, setelah AS, Swiss, dan Finlandia.


"Aku Membeli Pistol"

"Aku Membeli Pistol"

Polisi yang menggeledah kamar Sonboly menemukan bukti bahwa ia terobsesi dengan serangan senjata api.

Mereka mencatat bahwa serangan yang dilakukan Sonboly terjadi pada 22 Juli, lima tahun terjadinya serangan massal yang dilakukan oleh Anders Behring Breivik di Norwegia.

Sonboly dikabarkan menggunakan Facebook untuk mengiming-imingi para korban ke restoran cepat saji McDonalds di Mal Olympia -- dan melancarkan serangannya di sana.

Remaja itu juga menembak seorang pria, Thomas Salbey, yang memprotesnya dari balkon apartemen dan melemparkan botol bir padanya.

Menurut Salbey, Sonboly mengaku menerima tunjangan pengangguran dan telah membeli senjata.

Para pengunjung terjebak dan menunggu proses evakuasi di pusat perbelanjaan Olympia di Munich, Jerman (22/7). Polisi setempat melaporkan jumlah korban tewas mencapai setidaknya 10 orang, termasuk pelaku. (REUTERS/Michael Dalder)

Hingga kini polisi belum mengetahui bagaimana ia memperoleh senjata itu namun ia tak memiliki izin kepemilikan dan nomor serinya telah dilenyapkan.

Hingga saat ini motif serangan itu belum diketahui, namun polisi telah mengesampingkan hubungan penembakan tersebut dengan serangan yang diklaim dilakukan kelompok militan baru-baru ini di Jerman dan Prancis.

Sonboly juga memiliki sebuah buku tentang pembunuhan massal yang ditulis oleh Peter Langman, Why Kids Kill: Inside the Minds of School Shooters.

"Penembak muda pada khususnya, yang berarti remaja hingga awal 20an, sering mengamati penembak lain dan mencari panutan," ujar Langman.

"Hal tersebut tak Anda lihat di penembak yang lebih tua," tambahnya.

Langman menggarisbawahi bahwa tujuannya menulis buku itu adalah untuk menjaga orang-orang tetap aman serta mengantisipasi serangan tersebut.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya