Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyebut banjir dana hasil repatriasi dari Program Pengampunan Pajak (tax amnesty) dapat memicu sejumlah risiko jika tanpa pengelolaan yang tepat dan ketidaktersediaan instrumen investasi untuk menampung dana-dana tersebut.
Sedikit lebih rendah, BI memperkirakan repatriasi dana dari tax amnesty hanya sebesar Rp 560 triliun, sementara pemerintah memprediksi sekitar Rp 1.000 triliun.
Ini diungkapkan Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung saat acara Seminar Perkembangan Indonesia Terkini: Tantangan dan Peluang di Jakarta, Senin (25/7/2016).
Dia menuturkan, pemerintah berharap penerimaan pajak ke kas negara bisa bertambah hingga Rp 165 triliun, berdasarkan target melalui Program Pengampunan Pajak. Namun dampaknya akan besar bila target itu gagal tercapai.
"Implikasi kalau target penerimaan pajak Rp 165 triliun dari tax amnesty tidak tercapai, maka harus ada pemotongan anggaran atau belanja pemerintah. Dampaknya juga ke perbankan untuk penyaluran kredit," jelas dia di kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (25/7/2016).
Baca Juga
Advertisement
Lebih jauh, Juda mengatakan, pengelolaan dana repatriasi dari Program Pengampunan Pajak wajib mengendap dan diinvestasikan di Indonesia selama tiga tahun. Salah satu kunci keberhasilannya, mengelola dana-dana tersebut agar terserap ke sektor riil atau pembangunan infrastruktur yang memberi multiplier effect bagi masyarakat.
"Jika tidak bisa diserap, maka dana repatriasi ini hanya seperti capital inflow 2011-2012 yang hanya menimbulkan risiko aset bubble, karena sektor riil tidak banyak akhirnya dana masuk menubruk di secondary market di properti dan aset keuangan lain," dia menjelaskan.
Risiko lain, dana repatriasi yang tak tersalurkan ke investasi langsung di sektor riil, akan memicu pelemahan kurs rupiah. Untuk itu, perlu dilakukan percepatan agar dana repatriasi dapat diserap ke berbagai produk pembiayaan ekonomi, seperti obligasi korporasi valas, obligasi infrastruktur, Dana Investasi Real Estate (DIRE), dan lainnya.
"Atau dikaji perlu ada mortgage institution seperti Malaysia yang bisa melakukan sekuritasisi, garansi, dan likuiditas sehingga bisa dibeli Wajib Pajak yang ikut tax amnesty," terang dia.
BI, diakui Juda, akan mengelola dana repatriasi untuk mengurangi eksposure Utang Luar Negeri (ULN) seperti pembayaran ULN korporasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), back to back loans ke dalam negeri, dan debt to equity swap. Serta dikelola untuk memperkuat cadangan devisa dan pendalaman pasar keuangan.
Adapun kebijakan BI untuk mengoptimalisasi tax amnesty, antara lain memperkuat strategi pengelolaan cadangan devisa, memperkuat strategi pengelolaan operasi moneter, menambah hedging instrument, menambah variasi outlet investasi di pasar keuangan, kebijakan mikroprudensial untuk mendorong kredit dan mengelola agar tidak terjadi bubble.
"Perkiraan BI dana repatriasi yang masuk Rp 560 triliun. Kalau dari Produk Domestik Bruto (PDB) Rp 11 ribu triliun, maka ada tambahan 5 persen dari PDB. Kalau sekarang 37 persen, ada tambahan 5 persen, jadi 42 persen, over PDB di atas 1997-1998," terang Juda. (Fik/Nrm)