Liputan6.com, Jakarta - Rahadewineta bakal tampil di Olimpiade. Namun bukan sebagai atlet. Di Olimpiade Rio de Janeiro, Brasil 2016, wanita yang akrab disapa Neta ini bakal berdiri sebagai wasit pertandingan Taekwondo.
Meski tidak membawa keping medali, Neta boleh berbangga. Pasalnya, dia menjadi wanita Indonesia pertama yang dikirim sebagai wasit Taekwondo di ajang empat tahunan tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Di sela acara jumpa pers yang digelar di kantor UP Pro di kawasan Pluit, Jakarta Utara, Kamis (28/7/2016), Neta menceritakan perjalanan panjang yang harus ditempuhnya untuk menjadi wasit Olimpiade. Menurutnya, proses seleksi wasit Olimpiade dilakukan Federasi Taekwondo Dunia (WTF).
Dari 5.000 wasit Taekwondo yang terdaftar, WTF memilih 500 wasit yang kemudian dipilih 100 wasit yang memiliki ranking paling tinggi. Proses seleksi tahap awal dilakukan di Fujairah, Uni Emirat Arab.
"Proses seleksinya cukup lama. Ada tes fisiknya juga. Mungkin karena WTF berpikir wasit ini sudah jarang olahraga karena kebanyakan sudah sepuh. Banyak tes yang harus dijalani," kata wanita yang akrab disapa Neta ditemui di jumpa pers di Jakarta, Kamis (28/7/2016).
Dari informasi yang diterima Liputan6.com, para wasit diharuskan melakukan tes fisik. Tes fisik itu di antaranya lari sprint sejauh 20 meter serta tes kelincahan. Selain tes fisik, para wasit juga diturunkan di berbagai ajang untuk menguji kemampuan mereka.
Setelah melalui berbagai penilaian, WTF memutuskan 30 wasit--termasuk Rahadewineta--bakal memimpin pertandingan Taekwondo di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Rahadewineta akan mulai bertugas pada 12 Agustus hingga 17 Agustus.
Dalam proses seleksi itu, performa Neta juga terus dipantau dari turnamen satu ke turnamen lainnya. Neta menuturkan, jika berbuat kesalahan di suatu turnamen, wasit yang bersangkutan akan absen di turnamen berikutnya. Bahkan, Neta tidak diperkenankan berbicara apa pun soal pertandingan yang akan dipimpinnya di Olimpiade nanti.
"Saya enggak boleh bikin statement apa pun terkait pertandingan. Itu penekanan kode etik yang diterima dari WTF," ujar Neta.
Taekwondo Mendarah Daging
Taekwondo Sudah Mendarah Daging
Terpilihnya Neta sebagai wasit Olimpiade bukan hal yang ujug-ujug terjadi. Ya, bagi wanita kelahiran Surabaya ini, Taekwondo sudah mendarah daging dalam dirinya.
Lahir di keluarga atlet, Rahadewineta mulai belajar Taekwondo pada 1993. Tiga tahun setelahnya, dia meraih medali emas di ajang Marinir Cup di Surabaya.
Setelah itu, Rahadewineta berturut-turut meraih prestasi di berbagai ajang. Mulai dari tingkat nasional hingga regional antara lain medali perak SEA Games Laos 2009. "Saya mulai 1993 dan sampai 2016 ini, itu berarti sudah 23 tahun saya berkecimpung di Taekwondo," ujar Rahadewineta.
Neta sebenarnya berharap bisa mengikuti jejak kakaknya tampil di Olimpiade. Namun wanita berparas menarik itu gagal mendapat tiket menuju Olimpiade Beijing 2008.
Meski demikian, Neta tak patah arang. Dia tetap menapaki mimpinya tampil di multievent paling bergengsi itu lewat jalur yang berbeda, yakni wasit.
Setelah Olimpiade Beijing 2008, Rahadewineta langsung mengambil lisensi pelatih tingkat nasional. Hanya setahun setelahnya, Rahadewineta berhasil mengambil lisensi pelatih internasional.
Advertisement
Termotivasi Sang Kakak
Ada motivasi tersendiri di balik keputusannya mengambil lisensi wasit internasional tersebut. Neta menuturkan, para peserta yang mengambil lisensi pelatih internasional didominasi laki-laki. Karena itulah, ia termotivasi untuk membuktikan diri.
"Saya pikir kenapa sih enggak ada wasit cewek yang ikut lisensi internasional. Kenapa enggak kita coba," kata dia.
Neta mengakui, pengalaman menjadi atlet turut membantunya dalam proses mengambil lisensi wasit internasional tersebut. "Karena saya mantan atlet, jadi saya enggak jiper," ujarnya.
Kerja keras Neta itu tidak sia-sia. Kini Neta memegang setidaknya tiga sertifikat wasit tingkat internasional. Dirinya pun pernah dinobatkan jadi wasit terbaik di tiga kejuaraan Taekwondo tingkat dunia.
Neta mengungkapkan, jadi wasit dan atlet Taekwondo punya perbedaan yang mencolok. Sebagai wasit, dia butuh membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi. Sedangkan saat jadi atlet, faktor emosional menurutnya jauh lebih dominan.
"Jadi memang beda. Saya pikir kalau dulunya bukan atlet, seorang wasit akan kesulitan karena gerakan atlet itu kadang tidak terduga," kata Neta.