Liputan6.com, Jakarta - Iring-iringan kendaraan tiba di pintu Dermaga Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, Minggu pagi 24 Juli 2016. Di dalam kendaraan itu diyakini membawa terpidana mati Merry Utami.
Ia dipindahkan ke Nusakambangan menggunakan Kapal Pengayoman dari LP Wanita Tangerang, Banten.
Merry Utami divonis mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada 18 Juli 2002 karena menyelundupkan heroin seberat 1,1 kg. Ia tertangkap tangan membawa barang haram di Bandara Soekarno-Hatta, 31 Oktober 2001.
Advertisement
Upaya hukumnya hingga tahap peninjauan kembali (PK) ditolak pada 14 Maret 2016. Dengan pemindahan napi wanita ini, semakin jelas eksekusi mati jilid III, karena di Nusakambangan tidak ada lapas untuk wanita.
Meski Kejaksaan Agung tak mengeluarkan daftar resmi, beredar daftar 14 nama narapidana yang akan dieksekusi. Termasuk, Freddy Budiman.
Catatan kriminal narkoba Freddy Budiman tergolong luar biasa. Awalnya di 2009, Freddy dihukum 3 tahun 4 bulan atas kepemilikan 500 gram sabu.
Bukannya berhenti, Freddy malah menggila dengan mengendalikan sindikat narkoba dari dalam penjara. Mei 2012, Freddy berada di balik selundupan 1,4 juta ekstasi.
Puncaknya, Freddy lagi-lagi selundupkan 400 ribu ekstasi dalam kompresor pada Maret 2013, melalui jaringan ekstasi internasional Belanda-Jakarta. Ganjaran vonis mati pun diketuk hakim pada Juli 2013.
Masih sempat kedapatan membawa narkoba dan kartu chip telepon genggam saat dipindah, Freddy berubah drastis di LP Nusakambangan. Begitu pula saat menghuni LP Gunung Sindur Bogor.
Eksekusi mati bagi Merry, Freddy dan 12 terpidana mati lainnya makin dekat dengan adanya iring-iringan 15 ambulans, 14 untuk mati dan satu untuk cadangan, ke Nusakambangan. Seakan makin memastikan ke-14 terpidana mati akan dieksekusi kesemuanya.
Hujan deras pun mengguyur Dermaga Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat dinihari, 29 Juli 2016. Sekitar pukul 00:45 WIB, pelaksanaan eksekusi pun berlangsung di Pulau Nusakambangan.
Sementara itu, nasib berbeda tergaris untuk Merry Utami dan Freddy Budiman. Hanya empat narapidana yang dieksekusi, tidak termasuk Merry Utami.
Mereka adalah Freddy Budiman, Gajetan Acena Seck Osmane (Senegal) kemudian Humprey Ejike (Nigeria) dan Michael Titus Igweh (Nigeria).
Jenazah Michael Titus Igweh disemayamkan di Rumah Duka Bandengan, Penjaringan, Jakarta Utara, sebelum diterbangkan ke Nigeria. Sementara jenazah terpidana mati berpaspor Senegal, Gajetan Acena Seck Osmane, disemayamkan di rumah duka Rumah Sakit Carolus, Jakarta Pusat.
Setelah dikremasi di Krematorium Giri Laya, Banyumas, Jawa Tengah, abu jenazah terpidana mati Humprey Ejike akhirnya dibawa ke Nigeria.
Jenazah Freddy Budiman sendiri dimakamkan di TPU Kalianak, Jalan Demak, Surabaya, Jawa Timur. Makamnya berdampingan dengan kubur sang ayah. Sementara, 10 terpidana mati lainnya batal dieksekusi.
Personel Brimob yang menjadi tim regu tembak eksekusi tahap III pun meninggalkan Dermaga Wijayapura. Begitu pula dengan para jaksa eksekutor dan rohaniwan.
Jaksa Agung menyatakan, penundaan eksekusi terhadap 10 terpidana diambil tim pelaksana di lapangan, yang dipimpin Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. Hal itu sudah berdasarkan pengkajian yang sangat menyeluruh.
Eksekusi mati terpidana narkoba sejatinya adalah upaya pemerintah memberantas narkoba. Menurut data BNN pada 2015, pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,9 juta orang. Dalam sehari narkoba merenggut nyawa 30-40 orang.
Tiga kali pelaksanaan eksekusi hukuman mati di era Jokowi-JK, dua di antaranya berakhir dengan adanya penundaan eksekusi. Di tahap II, terpidana mati asal Prancis Sergei Atloui Areski dan Mary Jane Veloso asal Filipina tak jadi berhadapan dengan regu tembak.
Di satu sisi, langkah ini patut diapresiasi. Sebab, menunjukkan kehati-hatian pemerintah dalam menegakkan keadilan berlangsung hingga detik-detik terakhir eksekusi.
Di sisi lain, muncul anggapan bahwa proses peradilan hukum rentan salah mengganjar hukuman mati. Ditambah lagi, muncul aroma tak sedap soal pemberantasan narkoba yang masuk angin, ketika kesaksian almarhum Freddy Budiman disebarluaskan.