Liputan6.com, Jakarta - Dampak dana repatriasi hasil program pengampunan pajak atau tax amnesty diprediksi baru akan terasa pada kuartal IV 2016. Rupiah pun diperkirakan cenderung stabil.
Ekonom PT Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy menuturkan, berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Tax Amnesty atau pengampunan pajak maka wajib pajak yang ingin repatriasi bisa dilakukan hingga akhir tahun. Oleh karena itu, dana repatriasi hasil pengampunan pajak itu paling cepat masuk kuartal IV 2016.
Leo menilai, jika aset yang dimiliki oleh wajib pajak yang ikuti tax amnesty itu sebagian tak likuid sehingga membutuhkan waktu untuk mencairkan. Para investor juga melihat situasi dan kondisi dari instrumen investasi yang ingin melakukan repatriasi.
"Saya melihat repatriasi paling cepat kuartal IV 2016. Kalau saya misalnya declare repatriasi pada Juli-September. Repatriasi aset bisa dilonggarkan akhir tahun. Jadi kalau ada bilang repatriasi belum masuk dan tax amnesty gagal itu salah. Investor ingin repatriasi, wait and see. Aset itu tidak semua likuid. Misalnya punya properti, itu baru dilikuidasikan kemudian pemerintah berikan waktu bayar penalti sekarang, repatriasi akhir tahun," jelas Leo, saat ditemui wartawan di Nusa Dua, Bali, Minggu (31/7/2016).
Ia menambahkan, dampak dana repatriasi ke nilai tukar rupiah pun akan terjadi pada kuartal IV 2016. Dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi pun baru terasa tahun depan. "Sentimen dana masuk dampak ke riil dan makro mungkin tahun depan," ujar Leo.
Baca Juga
Advertisement
Ada pun nilai tukar rupiah pada akhir Juli 2016 bergerak di kisaran 13.090-13.100 per dolar AS, Leo menilai kalau pergerakan rupiah itu mungkin sebagian ada intervensi dari Bank Indonesia. Hal itu pun positif bagi pasar lantaran rupiah cenderung stabil.
"Itu bagus karena yang diinginkan investor rupiah stabil. Investor tak mau rupiah terlalu kuat dan melemah. Ingin stabil. Kalau BI lihat dari fundamental. Kurang lebih rupiah 13.000-13.100 per dolar AS. Apakah fundamental itu bisa berubah tergantung dari kondisi makro. Current defisit mengecil, inflasi stabil, tergantung makronya," ujar dia.
Akan tetapi, selain faktor internal, Leo menuturkan faktor eksternal juga berdampak terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Antara lain kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve yang menaikkan suku bunga secara bertahap. Kemudian perkembangan pertumbuhan ekonomi China.
"Risiko terhadap rupiah bukan hanya the Fed menurut saya juga tetap China. Perlambatan ekonomi China terus perhatikan karena dampaknya bukan hanya ke defisit transaksi berjalan tetapi rupiah. Namun data-data China mulai membaik," kata dia.
Sementara itu, Ekonom PT Samuel Sekuritas Rangga Cipta menuturkan kalau The Fed sulit kembali naikkan suku bunga pada tahun ini. Hal itu lantaran dari pernyataan the Fed yang juga fokus terhadap ekonomi global antara lain Eropa, Jepang dan emerging market. Hal itu lantaran kekhawatiran ada aliran dana yang akan keluar dari emerging market.
"Mereka juga tidak akan membiarkan dolar terlalu menguat karena ekspornya akan terpukul. Efek dari capital outflow dan takut Brexit kemarin. Kalau dari sisi keuangan Jepang dengan interest rate negatif maka biasanya imbal hasil surat utang pemerintah AS akan turun," ujar dia.
Ia memperkirakan, rupiah akan bergerak 13.000-13.300 per dolar AS hingga akhir tahun 2016. "Menjaga fundamental sehingga sulit rupiah dibiarkan terlalu menguat," kata dia. (Ahm/)