DPR: UU Konvergensi Harus Miliki Esensi Perubahan

Perombakan UU Telekomunikasi menjadi UU Konvergensi bertujuan untuk memberikan dampak positif bagi kemakmuran bangsa dan negara.

oleh Muhammad Sufyan Abdurrahman diperbarui 01 Agu 2016, 18:30 WIB
​Diskusi Forum Alumni Universitas Telkom, hadir pembicara antara lain El Nino Mohi (tengah) dan Mochamad James Falahuddin (ketiga kanan). (Doc: FAST)

Liputan6.com, Bandung - Undang-undang (UU) Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 diusulkan berubah menjadi UU Konvergensi.

Kepada tim Tekno Liputan6.com, Senin (1/8/2016), Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), El Nino Mohi mengatakan bahwa UU Konvergensi tersebut akan mencakup UU Telekomunikasi, Penyiaran, serta Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

"Perubahan ini dilakukan karena (ketiga Undang-Undang tersebut) kini telah menjadi satu kesatuan. Telekomunikasi kini terkait dengan penyiaran dan informasi," katanya dalam Diskusi Forum Alumni Universitas Telkom (FAST) di Jakarta pada akhir pekan lalu.

Sesuai rencana, pergantian UU ini akan dilakukan setelah KPI memilih sembilan komisioner yang baru. Adapun KPI secara simultan sedang membahas UU Penyiaran yang ditargetkan rampung paling lambat Maret 2017. 

 Sebagaimana diketahui, rencana perubahan UU Telekomunikasi ini sebetulnya sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas 2015).

"Arah perbaikan UU Telekomunikasi ke UU Konvergensi tidak hanya revisi yang bersifat normatif saja, namun harus menyentuh esensi perubahan. Ini sudah semestinya mendapat dukungan publik karena sangat penting posisinya untuk kemajuan, juga kedaulatan bangsa dan negara," katanya.

El Nino juga menekankan perombakan bertujuan untuk memberikan dampak positif bagi kemakmuran bangsa dan negara. Sekaligus diarahkan agar masyarakat Indonesia menjadi pencipta dan pengembang teknologi, bukan hanya sekadar sebagai pemakai seperti saat ini. 


Pertahanan Digital

Mochamad James Falahuddin, CEO PT Codephile Rekadaya Mandiri, yang sudah lama berkecimpung di ICT government, menekankan selain perubahan regulasi, Indonesia juga harus mulai serius membangun sistem pertahanan digital.

Apalagi, katanya, dunia pertahanan cyber ini baru dikuasai segelintir kalangan. Ia mencontohkan bagaimana negara maju bisa begitu bebas masuk ke Indonesia sehingga bisa disalahgunakan untuk menyadap.

"Ada juga perangkat yang didesain dapat mengirimkan informasi apapun kepada vendor. Perangkat salah satu vendor misalnya, bisa didesain mengirim data ke negara asalnya, sehingga perlu diusulkan adanya aturan yang dapat menyeleksi dan memeriksa barang-barang TIK dari luar negeri," ujarnya.

Masalah lain adalah belum rampungnya aturan Digital Signature (Certificate of authorithy) padahal saat ini pemerintah sedang gencar menerapkan soal eGoverment.

(Msu/Cas)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya